Opfern

437 57 6
                                    

"Dewa tolong kembalikan keadaan desa kami seperti semula."


Tuturan-tuturan doa tak pernah berhenti dilayangkan. Entah anak muda hingga orang tua. Seluruh mulut merapalkan doa-doa itu. Tergaungkan diseluruh penjuru desa.

Sejak tiga bulan yang lalu suasana tampak mencekam. Ramalan yang terdengar dari sosok kakek tua yang tak dikenal datang. Entah dari mana datanganya sang kakek tua itu. Akan tetapi, semuanya hancur sejak kedatangannya.

Bencana demi bencana mendatangi mereka. Ucapan sang kakek yang hanya dianggap angin lalu. Omong kosong belaka di antara kemajuan zaman untuk saat ini. Memaksa seluruh warga untuk mempercayainya.

Suasana sekolah tidak ada bedanya saat di rumah. Diam mencekam. Tidak ada yang berani melakukan kesalahan sedikitpun. Bencana akan semakin parah jika melakukannya. Korban telah berguguran sejak saat itu.

Iori menghela napasnya dalam-dalam. Ia semakin muak dengan keadaan seperti ini. Sejak dua bulan yang lalu kegiatan klub dihentikan. Para guru melarang seluruh kehiatan klub setelah pulang sekolah sejak adanya korban. Yah... kakaknya sendiri menjadi korbannya.

Suatu ketika klub bola sedang asik melakukan latihan. Tidak terlalu jelas apa yang terjadi pada saat itu. Suatu kejelasan saat itu hanyalah muncul sedikit pertengkaran. Seakan alam tidak menyukai itu. Angin besar tiba-tiba muncul tanpa diduga. Kesialan menghampiri Mitsuki yang bahkan tidak terlibat di pertrngkaran itu.

Tubuh Mitsuki langsung terbang terbawa angin kencang itu. Tubuhnha dipermainkan sesaat. Membuat dirinya terlempar jauh dari lokasi kejadian. Dengan suara yang sangat amat kencang. Membuat orang-orang pasti akan meringis ngilu mendengar suara itu.

Mitsuki dinyatakan koma. Tak heran begitu melihat cedera yang dialaminya. Yang Iori ingat darah menggenang di sekitar kepala Mitsuki. Beberapa tulang retak bahkan patah akibat lemparan itu. Terjadi cedera otak yang cukup berat membuat dirinya koma sampai saat ini.

Hidup menjadi terasa hampa. Semua orang di desa ini meminimalisir kegiatan mereka di luar rumah. Cuaca tidak pernah bersahabat. Langit selalu mendung gelap. Hujan dengan petir sering muncul tiba-tiba hingga merusak pepohonan di desa ini. Banyak pohon tumbang. Gagal panen di mana-mana. Mulai muncul krisis pangan di desa ini.

Kegiatannya kini hanya mendatangi sekolah dan menjaga toko yang selalu sepi. Menggantikan ibunya karena harus menjaga Mitsuki di rumah sakit. Terkadang ia memilih untuk membolos bekerja karena keadaan terlalu sepi. Ayahnya juga tidak pernah protes.

"Sudah saatnya kita pulang."

Kalimat yang paling ditunggu-tunggu pada hari yang membosankan ini. Walau berakhir tidak ada kegiatan yang berarti tapi setidaknya dengan berakhirnya kelas ini ia bisa melakukan suatu hal yang lain. Sejujurnya Iori sendiri masih menulis lirik tanpa musik. Tidak ada yang mengizinkan hal itu. Semuanya takut bencana akan semakin muncul.

Tidak ada respon lebih dari murid lainnya. Mereka hanya membereskan peralatan belajar mereka dan menunggu aba-aba dari Iori. Berhubung dia kejatahan piket, ia mendapatkan giliran untuk menutup kelas.

"Berdiri!" Serunya.

Semua murid berdiri. Tidak ada bisik-bisik ramai seperti saat bencana itu belum datang. Mereka diam dan berdiri saja. Menatap sang guru dengan tanpa gairah untuk hidup. Tatapan yang sangat wajar bagi masyarakat desa ini.

"Salam!"

Mereka melakukan ojigi dengan serempak. Dua gerakan dilakukan. Pertama pada sang guru yang berdiri di depan kemudian berpaling menghadap gunung tempat kuil dewa agung bersemanyamkan. Menunduk dengan sangat hormat dan penuh harapan.

Opfern [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang