His name

64 12 0
                                    

His name

Nama nya yang seindah bunga.

Nama nya yang merdu bagai melodi.

Nama nya yang sangat berbahaya bagai ranjau.

-

Baru kali ini aku mendapatkan jatah pulang lebih awal dari biasanya. Karena aku hanya kerja setengah hari saja, aku putuskan untuk mampir sebentar ke restoran makanan cepat saji. Anggap saja self reward, karena hampir setiap hari aku hanya makan sayur, tempe, dan ikan goreng.

Jangan ceramahi aku soal self reward berupa makanan cepat saji, karena aku sendiri juga susah beli makanan seperti itu disini. Gaji yang ku dapatkan tidak selalu bisa mencukupi kebutuhan ku yang tinggal di Ibu Kota.

Bisa makan ayam cepat saji dua bulan sekali saja sudah sangat bersyukur.

Sepertinya Tuhan sedang tersenyum di atas sana. Keadaan restoran di jam makan siang seperti ini tidak ramai. Cenderung sepi juga. Hanya ada satu orang yang antre di depan ku. Seorang laki-laki yang tinggi, besar, dan sangat jangkung. Ck, tubuhku berasa kecil sekali di belakang dia.

"Mas, bisa nunggu sebentar? Saya mau ambil uang dulu."

Oh, mohon maaf aku bukannya menguping. Tapi memang kedengaran. ATM yang terdekat disini jarak nya hampir 2 kilometer, lebih baik ia memakai uang ku saja dulu.

"Permisi," kata ku mencoba mendapatakan atensi kedua laki-laki itu. "Makanan nya Mas ini, biar saya saja yang bayar. Kebetulan juga saya mau memesan menu yang sama."

"Ga usah, Mbak. Saya mau ngambil uang ini."

"Sudah, pakai uang saja dulu. Lagi pula, saya juga mau makan dan saya benci makan sendiri. Mas mau kan nemenin saya?"

Bohong. Aku paling suka makan sendirian. Tapi, tidak ada cara lain. Laki-laki ini sangat keras kepala. Kalau aku tidak mengatakan hal seperti itu, ia juga akan terus melawan ku. Seperti yang sudah bisa ditebak, aku membayar makanan laki-laki itu dan juga membayar makanan ku.

Lalu, disinilah kami. Duduk berdua, berhadapan, dengan menu yang sama. Orang lain pasti mengira kami memiliki hubungan padahal aku saja belum mengenalnya. Aku juga baru sadar bahwa, ia memakai setelan kerja. Laki-laki mana yang sangat ceroboh lupa membawa uang cash saat kerja. Tidak habis pikir.

"Terima kasih." Adalah kalimat yang ia ucapkan pertama kali setelah keheningan yang menguasai ini.

Aku hanya mengangguk, "tidak apa."

"Tapi, beneran deh. Mbak harusnya tadi ga usah bayar makanan saya. Saya beneran mau ambil uang."

Aku sudah mendengar kalimat itu tadi dan ia mengatakannya lagi. Astaga, kenapa keras kepala sekali sih. "ATM terdekat pun ga sedekat namanya Mas," sama sepertinya. Aku juga mengulang kalimat ku.

"Loh, saya ga mau ke ATM kok," katanya dengan kekehan kecil.

"Terus? Mau ke kantor yang ada di belakang restoran ini karena Mas yang punya restoran ini?" tanya ku asal.

"Iya, betul."

"Hah?"

Laki-laki itu malah tertawa kencang. Terbahak-bahak sampai aku bisa merasakan gema nya di seluruh ruangan restoran ini. Aku tidak paham kenapa ia tertawa begitu lantang. Rasanya seperti ia tidak pernah tertawa selama berbulan-bulan dan baru ia lepaskan sekarang.

"Mas nya ga gila kan?" tanya ku setelah suara tawa nya mulai mereda.

Ia menggelengkan kepala nya. "Stress doang hampir gila."

Ya Tuhan, bisa-bisanya masih bercanda.

"Engga Mbak. Saya waras lah, kalau ga mana bisa saya kerja disini," ucap nya yang telah meminum kopi.

Aku mengangguk saja. "Mas beneran yang punya restoran ini?"

"Yang punya bukan sih ya. Cuma, saya ini kepala cabang restoran di kota ini."

"Mas ga bohong karena ga mau ganti uang saya kan?"

Lagi-lagi ia tertawa. Tangan nya merogoh kantong belakang, mengambil dompet lalu mengeluarkan kertas. Aku tebak pasti kartu nama.

"Ini, kartu nama saya. Kalau Mbak tidak percaya, silakan dilihat," ucapnya sambil memberikan kartu nama itu kepada ku.

Ragil Baswara Aryasuta.

Seperti itu nama yang di tulis disana. Aku mengetahuinya, nama yang mengambil dari bahasa Jawa dan bahasa Sansekerta. Putra terakhir yang bercahaya dan di hormati. "Mas nya, anak terakhir?"

Laki-laki itu mengangguk. "Iya, makanya nama saya Ragil."

Ragil. Aku mengulang kembali nama itu.

"Mbak nya? Siapa?"

Aku tersenyum. "Aksa. Jitaksara Dayita."

Lantas, ia kembali berucap, "Baik, Aksa. Kamu sudah mengajak saya makan bersama siang ini. Bagaimana kalau, saya juga mengajak mu makan siang besok untuk membayar hutang saya?"

"Baik. Ragil."

Saat itu, saat pertama kali aku membaca namanya, aku seolah tersihir. Masuk ke dalam jebakan sihir dan tidak akan bisa keluar, hanya karena namanya. Ragil Baswara Aryasuta.

Noxious | ATEEZ MINGI (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang