Stasiun; jingga

34 7 1
                                    

Hiruk-pikuk kegiatan di stansiun tugu memang tak pernah usai nampaknya, deru kuda baja yang datang secara bergiliran untuk menaik turunkan penumpangnya semakin meramaikan suasana pagi menuju siang hari itu. Stasiun, sebuah tempat yang selalu berkesan akan pertemuan dan perpisahan. Tempatku pertama kali mengenal dan berpamitan kepada pusat semestaku kala itu.

Lantunan musik dari Tulus menggema di telingaku hingga suara dari seorang pria membuyarkan konser mini di dalam kepalaku ini.

"Dek, barang-barangmu uwis dibawa semua kan ?" dengan nada alus khas Jogjakartanya.

"Haah, sampun mas, sudah tak cek semuanya sebelum berangkat tadi."

Entah sudah berapa kali pria itu bertanya dengan pertanyaan yang sama padaku dalam sehari. Maklum mungkin karena ini kali pertama bagi adik semata wayangnya ini akan berpisah cukup lama dan jauh dengannya. Mas Raka dan aku tidak pernah terpisah cukup lama sebelumnya, bahkan sejak SD hingga SMA kami satu sekolah, namun kini karena kami harus menempuh pendidikan di Universitas yang berbeda kini mau tidak mau kami harus berpisah untuk sementara waktu.

"Yowis, tapi nanti nak misal ada yang ketinggalan Mas wegah yo nak kon nganter tekan Bandung" dengan nada usilnya.

"Hiis, Masss." Suaraku merengek. Namun hanya dibalas tawa oleh Mas Raka.

"Heeh Raka kok senengmen godani adikke wi lo." Tegur ibuku.

Waktupun terus berjalan dan tak terasa tiba juga waktu keberangkatanku menuju kota kembang, akupun bergegas untuk pamit kepada Ibu dan Mas Raka. Jangan tanya kemana Bapakku karena beliau sangat sibuk bekerja hingga tak sempat mengantarkan anak gadis semata wayangnya ini.

"Ati-ati ya nduk, jaga diri disana ya." Ibu memelukku dengan erat seakan enggan untuk melepas anak gadis kesayangannya ini.

Akupun melepas pelukanku dengan ibu dan beralih berpamitan kepada Mas Raka "Hati-hati ya dek, ojo teledor disana, ngga ada mas disana yang selalu siap sedia nganterke bukumu nak ketinggalan." Diakhir pertemuan kami saja ia masih sempat-sempatnya menggoda adiknya ini.

Selepas berpamitan kepada Ibu dan Mas Raka aku bergegas menuju ke dalam kereta. Sesampainya di dalam gerbong kereta aku segera mencari kursiku dan menata barang bawaanku di bagasi atas.

Usai memastikan barangku sudah tertata dengan aman di bagasi atas aku segera menempati kursi kereta bagianku. Berselang beberapa menit setelah itu bel tanda keberangkatan kereta berderu kencang seakan berteriak mengucapkan selamat tinggal kepada setiap penumpang di dalam kereta yang hendak berangkat. Aku kembali memainkan playlist yang sejak sebelum keberangkangkatanku sudah mengalun menemaniku menunggu keberangkatan kereta, kini lagu dari aditya sofyan berjudul sesuatu di jogja mengalun di telingaku, belum juga genap satu jam aku pergi meniggalkan kota yang telah membesarkanku ini namun rasa rindu sudah mulai menyelimutiku. Ada sedikit rasa cemas dalam hatiku sebenarnya ketika harus pergi jauh dari rumah, namun lekasku tampik perasaan itu. Untuk apa aku mengkhawatirkan rumah yang penuh dengan rasa kelu itu ketika aku bisa bernafas tanpa perlu memikirkan segudang perihal akan peringkat dan angka itu.

Akupun mencoba memejamkan mata sekejap untuk melenyapkan perasaan itu. Nampaknya usahaku ini berhasil, aku terlelap cukup lama hingga tanpa kusadari kursi penumpang kosong di sebelahku tadi telah terisi oleh seorang penumpang.

Semburat sinar senja yang singgah ke dalam kereta api membangunkanku dari tidur lelap. Kukejapkan mata ini secara perlahan agar kesadaranku perlahan kembali pulih. Samar-samar ku lihat lansekap hamparan laut biru dari balik gerbong besi ini.

Kini perjalanan menjadi lebih menarik, karena selain dapat melihat hamparan laut biru itu kini aku telah berkenalan dengan penumpang yang duduk di sebelahku. Namanya Ica, dia warga asli Bandung yang baru saja pulang berlibur dari Jogjakarta, ia juga menceritakan pengalaman lucunya saat menaiki kereta ini, Ica bilang ia sempat salah duduk di kursi penumpang lain karena terlalu lelah sehabis mengejar keterlambatannya menuju stasiun dan kurang fokus untuk melihat nomor tempat duduk yang tertera di tiketnya. Ketika sang pemilik kursi datang ia dan Ica sempat adu tegang karena Ica bersikeras bahwa kursi yang ia duduki benar kursinya, namun akhirnya ia kembali melihat nomor kursi di tiketnya dan betapa malunya Ica ketika menyadari kesalahannya itu.

Bandung diantara 107 0 Bujur Timur dan 6 0 55' Lintang SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang