Maafkan Aku Karena Tak Menangis

18 5 5
                                    

Happy Reading!

*****

Eh? Meninggal?

Tunggu, apa yang terjadi?

Ingatanku terbawa pada kepingan memori masa lalu. Angin semilir masuk melalui celah jendela. Aku menggosok kedua tangan untuk menghalau rasa dingin. Suara mesin aquarium terdengar jelas di malam yang sunyi. Sesekali, langkah kaki dan kenalpot motor dari luar rumah terdengar.

Aku tidak bisa tidur. Maka, di sinilah aku berada. Ruang tengah rumah nenekku, hanya seorang diri.

Kuperhatikan cicak yang merayap di dinding. Semut yang membawa remahan kue. Atau apapun itu yang bisa membuatku mengantuk. Sayangnya, rasa lelah di mata tak kunjung hadir.

Langkah kaki mendekat. Siapa itu? Aku harus segera kembali ke kamar. Tapi masalahnya, arah orang itu dan kamar yang aku tempati sama.

Sepertinya aku harus bersembunyi. Akan gawat jika orang itu adalah ibu. Pasti beliau akan marah karena aku masih terjaga.

Belum sempat mencapai belakang lemari, kaki ku tersandung meja. Untung saja tidak jatuh. Tapi orang itu sudah sampai ruang tengah, menangkap basah diriku yang ingin bersembunyi.

Nenek. Sebenarnya ini cukup gawat. Karena aku tidak terlalu dekat dengan beliau. Jadi aku bingung harus bereaksi seperti apa.

Nenek mendekat dengan tergesa. Terlihat sedikit panik. "Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanyanya dengan lembut.

Aku menggelengkan kepala ragu. "Eh? Tidak kok."

Wanita dengan rambut penuh uban itu tersenyum lega. "Syukurlah. Kenapa belum tidur?"

"Emm aku tidak bisa tidur."

"Mau nenek buatkan segelas susu hangat?" Dia tersenyum manis.

"Mau! Aku suka susu coklat!"

Ini tawaran yang sangat menggiurkan. Siapa yang tidak suka susu hangat di tengah dinginnya malam?

Beliau melangkah tersendat-sendat menuju dapur. Sedangkan aku kembali duduk di kursi ruang tengah. Ternyata nenek sangat baik!

"Ini, minum sampai habis ya." Tangannya menyodorkan segelas susu coklat.

Dengan semangat, langsung kuteguk seluruh cairan manis dalam wadah itu.

"Semoga itu dapat membantumu untuk tidur." Lengkungan itu kembali hadir. Sungguh sangat cantik.

"Terima kasih!" Aku balas tersenyum.

"Sekarang kamu kelas berapa?"

Aku mengangkat tangan kanan, melipat jari jempol, kelingking, dan jari tengah ke dalam. "Aku kelas dua!"

Dia mengelus rambutku pelan. "Wah, sudah besar ya."

Sentuhan itu membuatku agak tersentak. Tidak biasa. "Iya, nek!" Aku tersenyum lebar, sampai deretan gigiku terlihat.

Beliau tertawa. "Sekarang sudah malam sekali. Tidur ya? Nenek akan mengantarmu ke kamar."

Aku hanya mengangguk, meraih tangan nenek yang hangat. Lagi-lagi, hal itu membuatku agak aneh.

Setelahnya, aku berbaring di kasur sembari memikirkan hal-hal di luar kepala. Misalnya, apakah nanti aku akan mengingat hari ini? Atau contoh lain, apakah hubunganku dan nenek akan menjadi dekat?

Hari raya tahun berikutnya, aku tidak menginap di rumah nenek. Hanya berkunjung, lalu pulang bahkan saat matahari belum menunjukkan kepergiannya.

Saat di sana pun, aku tidak cukup berani untuk beramah-tamah dengan beliau. Dan hanya menempeli kakak.

idk, but I feel badTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang