Happy Reading!
(Jika berkenan, tolong koreksi typo, tanda baca, atau apa pun itu yang salah yaa 🙏🏾)
*****
"Mar, kalo tulisan lo kayak gini terus, bisa-bisa buku lo gak akan laku lagi!"
"Kayak gini gimana, Mbak?"
Tentu saja, Amara pura-pura tidak tahu. Ia hanya bingung harus merespon bagaimana. Dan Amara pun tahu, jawaban dari pertanyaan itu akan semakin membuat hatinya hancur.
Mbak Disty mengembuskan napas gusar. Tangannya memijat-mijat dahi.
"Lo lihat sendiri dong cerita lo, Mar. Masa Lo gak sadar? Tulisan lo sama sekali gak ada kemajuan. Bahkan mungkin kualitasnya menurun. Isi cerita lo juga terlalu pasaran. Ditambah lagi, pembawaannya pun sangat membosankan."
Amara tercekik. Jantungnya seakan berhenti berdetak sepersekian detik. Otaknya tak berfungsi dengan baik. Sehingga saat ini Amara hanya diam tak berkutik.
Amara memilin jari, mengalihkan rasa takut, sesak, dan juga gugup. "Kan itu biar banyak yang beli, Mbak. Biasanya orang-orang suka cerita yang seperti itu," kilahnya dengan suara kecil. Keberanian dia hanya sebesar biji cabai.
"Tapi pembawaan lo gak menarik, Mar! Tulisan lo ini ...," ujar mbak Disty tertahan, sembari menunjuk laptop di hadapannya. "gak menarik sama sekali! Bikin bosen baca, tahu!"
Oke, sepertinya Mbak Disty sedang memiliki masalah lain. Dan perempuan dua puluh tahunan itu tak bisa menyampingkannya, lalu meluapkan emosi pada Amara. Karena biasanya, Mbak Disty tak sekejam itu. Dia masih punya hati nurani untuk tak bicara se-blak-blakan barusan.
Ikut terbawa kesal, Amara pun menjawab dengan ketus.
"Mbak jangan ngomel doang dong! Kasih solusinya, biar kemampuanku meningkat. Kalo mbak cuma marah-marah doang, itu malah bikin aku semakin jatuh!" Kedua tangan Amara memukul meja pelan.
"Heh, gue itu ngasih tahu lo ya! Biar lo tuh sadar!" Telunjuk kanan Mbak Disty mengarah pada Amara.
"Tapi cara mbak gak perlu sekasar itu dong! Aku bisa ngerti kok walaupun mbak ngomong baik-baik."
"Halaahh! Lo aja jarang dengerin gue!" Mbak Disty beranjak dari kursinya, lalu mencangklongkan tas. "Gue gak mau tahu, Minggu depan cerita lo harus jadi menarik! Bahkan kalo bisa, lo ganti aja keseluruhan ceritanya. Ubah jadi yang gak pasaran dan gak bikin bosen dibaca. Gue pergi dulu."
Mbak Disty berangkat, meninggalkan Amara yang masih diliputi rasa kesal.
"Ish, nyebelin! Kesel banget! Dasar Mbak Disty sialan!"
Amara memukul meja, menggenggam gelas dengan erat, juga mengumpat, untuk meluapkan kekesalannya.
Gadis itu tak peduli dengan pandangan orang-orang yang kini menyorot padanya sejak perdebatan dengan Mbak Disty tadi. Biarkan ia menyelami lautan emosinya.
Tak mau sendirian di cafe dengan perasaan buruk, Amara menghubungi sahabatnya dan mengajak-lebih tepatnya memaksa-dia ke situ. Beruntung, sang sahabat mempunyai waktu luang dan sedang berada di sekitar cafe.
Belum sempat tubuh Vivi menyentuh kursi yang ditempati mbak Disty tadi, Amara sudah mencerocos. Ditumpahkannya semua keluhan gadis itu atas ucapan Mbak Disty.
"Tahu gak, beb? Ih ngeselin banget sumpah! Kenapa sih gue punya editor sekaligus mentor nulis yang nyebelin abis?! Pengen gue sumpalin tuh mulutnya yang setajam silet! Udah ngalahin Feny Rose aja! Daripada jadi editor, dia lebih cocok jadi ketua paguyuban lidah tajem!
KAMU SEDANG MEMBACA
idk, but I feel bad
Short StoryThis is not the story that can make you cry. But I hope it will validate our feelings.