Bab 1 : Kehilangan Pertama

564 12 2
                                    

"Selalu ada akhir untuk segalanya. Akhir untuk hari yang panjang, akhir untuk kisah cinta seseorang, atau bahkan akhir dari sebuah tawa. Dimana matahari menunjukkan senyumannya dipagi hari, begitu juga ia akan mengucapkan salam perpisahannya di akhir hari. Sebagaimana seorang kekasih mengucapkan sumpah cintanya, hanya beberapa yang bertahan melawan dunia. Begitu juga bagaimana manusia mengawali tarikan nafasnya dan mengakirinya dengan sejuta kisah saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Senyuman, tawa, air mata, rahasia, dan kisahnya juga tidak akan dilupakan. Hidup dalam hati mereka yang mengenal, mencintai, dan dengan penuh kasih mengenang sosoknya. Bahkan saat-saat dimana ia tidak lagi dapat ditoleransi dan sikapnya menyebalkan, ia tetap teman, sahabat, kekasih, dan keluarga. Kita akan selalu mengenang yang terbaik dari ia dan merelakan kepergiannya, meskipun kita harus kehilangan sebagian dari diri kita karena dia yang telah menjadi bagian dari hidup kita."

-Michael Kwa-

Dulu ia pernah punya teman yang meninggal karena sebuah kecelakaan pesawat dalam perjalanan menuju pemakaman kakeknya. Sore itu, ia mengucapkan sebuah janji dengannya bahwa minggu depan ketika temannya itu kembali, mereka akan bersama-sama pergi kepasar ikan. Membeli sebuah ikan Koi hitam, yang katanya dapat menangkal kesialan. Mereka sangat senang saat itu dan satu-satunya hal yang ia pikirkan setelah itu adalah petualangan kecil mereka kepasar ikan. Apa yang akan mereka kendarai, akuarium seperti apa yang akan mereka beli, dan bagaimana mereka akan membagi jadwal pakan. Itu semua mereka lakukan karena ada program belajar tanggung jawab dari sekolah dan setiap kelompok boleh membawa hewan peliharaan mereka sendiri-sendiri. Ia sangat senang. Tapi hal terakhir yang ia kenang dari rencana hebat mereka adalah suasana sedih dari rumah duka tempat Nala dibaringkan.

Aneh. Karena saat itu, bahwa disaat seperti itu, ia masih punya kenangan tertawa bersama dua orang teman lainnya. Julia dan Lilian. Mereka masih sempat tertawa dan berlarian, meskipun mereka tahu sahabat mereka baru saja meninggal dunia. Rencananya harus dijalan dengan orang lain dan ia tidak pernah lagi bertemu dengan Nala. Tapi kesedihan itu dengan sangat cepat terlupakan dan kerinduan itu tak lama digantikan dengan kelupaan. Ia bahkan mungkin tidak pernah sungguh-sungguh merasakan sedih. Tapi sekarang? Tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana hatinya sedih saat ini. Dicoreng duka. Vincent, teman sekelasnya baru saja meninggal dalam sebuah kecelakaan yang cukup konyol sebenarnya. Ditabrak becak bermotor didekat pengairan dekat sekolah.

Berita duka itu datang tiba-tiba pada pelajaran ke-lima setelah istirahat pertama. Ia sedang sibuk melanjutkan jawaban nomor delapan ilmu pengetahuan sosial saat tiba-tiba guru konseling kami, Bu. Swatika masuk dan mengumumkan kabar duka itu. Andai itu bukan kabar duka, mungkin mereka semua akan loncat kegirangan karena bisa pulang siang. Tapi itu berita kematian Vincent. Dan kami semua sangat mencintai Vincent. Sebagai teman, sebagai kekasih, sebagai saudara, sebagai sahabat... dan bahkan untuknya yang selama ini hanya diam-diam saya, sebagai sumber tawa. Semuanya terasa lambat pagi tadi. Ia menutup bukunya, alat-alat tulisnya ia masukkan kedalam tempat pensil, kemudian masuk ketas. Sementara semuanya bergegas memasukkan peralatan mereka masing-masing. Lilian, disisinya mulai menangis. Air mata sebesar biji jagung mulai menuruni pipinya dan menetes dari dagunya yang cantik. Matanya yang diberi lensa kontak berwarna biru semakin berkilauan.

"Li, jangan nangis dulu. Nanti buram pas naik motor." Ujarnya sambil menyelipkan selembar tisu ketangannya. Lilian menangguk dalam diam dan memasukkan semua peralatan sekolahnya sembarangan. Buku-bukunya kusut terlipat, tapi ia mungkin tidak akan bisa mengerti. Vincent kekasih Lilian. Mereka sudah bersama sejak ia tidak ingat kapan.

"Aimee, kamu bawa motornya ya? Aku ngegonceng aja dibelakang." Katanya setengah terisak. Tangannya satu membersit hidung. Julia dibelakangnya menepuk punggung Lilian, menggosoknya dengan kasih sambil membisikkan kata-kata yang menenangkan.

Sehari Setelah IaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang