; kuning

82 16 0
                                    

Netra heterokrom memandangi batu permata yang ada pada telapak tangannya.

Hari ini Floyd berhasil menghasilkan batu-batuan warna-warni di kelas Alkimia. Seperti biasanya, Floyd menunjukkan hasil kerjanya pada Azul. Senyum bangga muncul di bibirnya mengingat puji-pujian dari teman masa kecilnya. Sepertinya hari ini dia berhasil menghasilkan banyak batuan berharga yang menguntungkan bagi Azul.

Sekarang hanya tersisa satu batu di tangannya. Di antara semua hasil kerjanya, Floyd hanya meminta satu batu untuk dikembalikan—sebuah topaz berwarna kuning. Azul membiarkannya. Dan di sinilah dia, dengan sebuah topaz di tangan, kebingungan sendiri.

Bahkan Floyd sendiri tidak tahu apa yang membuatnya menyimpan batu ini. Warnanya mengingatkan Floyd akan sesuatu, tetapi dia tidak bisa mendapatkan jawaban yang tepat meski sudah bepikir cukup lama.

Ia mengerjapkan mata ketika melihat sosok yang familiar tidak jauh di depannya. Senyuman mengembang pada bibir Floyd, sambil ia ambil langkah panjang mengejar sosok mungil itu dengan lengan terbuka lebar.


"Koebi-chan~!"

"Waah?!"


Floyd melepas tawa ketika Yuudai menjerit dalam pelukannya. Seperti biasa, sosok yang mengingatkan Floyd pada udang mungil ini memberikan hiburan hanya dengan hal-hal kecil.

Ketika Floyd menatapinya, Yuudai menengadah. Pandangan mereka bertemu, membuat Floyd tertawa lagi. Dia bisa melihat rasa heran dan panik pada wajah Yuudai dengan jelas.


"Sendirian saja? Mau ke mana?" tanyanya.

Yuudai tertawa canggung, sembari merapikan rambutnya. "Ke perpustakaan. Ada buku yang ingin kukembalikan," jawabnya pelan.

"Hee? Kau belajar lagi?" tanya Floyd. Ketika Yuudai mengangguk, ia tertawa. "Koebi-chan rajin sekali ya? Pintar, pintar," ucapnya sambil mengusap surai hitam Yuudai.

Sosok itu hanya tertawa lagi, sambil memeluk bukunya dengan erat. "Terima kasih, Senpai."

Floyd tertawa, masih dengan Yuudai di pelukannya. Ketika matanya bertemu dengan mata Yuudai, ia teringat kembali dengan kelas alkimia hari ini. "Oh, iya! Karena Koebi-chan sudah rajin sekali, bagiamana kalau kuberi hadiah?"

"H-Hadiah?" Yuudai menatapinya keheranan. Dalam benaknya terlintas ingatan akan kebiasaan anak Octavinelle, terutama mereka yang bekerja pada Azul—tidak ada yang gratis.

"Hadiah!" Floyd mengulangi ucapannya dengan mantap. "Jangan khawatir, aku tidak merencanakan apa pun. Lagian ini hanya hasil sisa dari kelas hari ini~"

"Hasil sisa dari kelas ..." Yuudai berbisik pelan.


Akhirnya Floyd melepaskan Yuudai, sambil menyuruh adik kelasnya untuk menunjukkan telapak tangannya. Dengan hati-hati Yuudai membuka telapak tangan di depan Floyd, jelas merasa ragu dan curiga dengan kelakuan Floyd. Hanya saja Floyd tak acuh.

Ia meletakkan batu topaz yang ia bawa sedari tadi di telapak tangan Yuudai. Kekehan keluar dari bibir Floyd ketika melihat ekspresi kaget di wajah Yuudai. Jelas, Floyd berhasil mengejutkan Yuudai.


"Senpai, ini—"

"Hari ini aku membuat banyak batu-batuan di kelas. Aku sudah memberikan semuanya ke Azul, tapi yang satu ini sisa,"jelas Floyd. "Sepertinya tidak begitu berharga bagi Azul. Daripada kubawa terus, kuberikan saja pada Koebi-chan."

Yuudai mengerjapkan mata. "Tidak berharga?"

"Kenapa? Tidak suka?"

"B-Bukan!" Yuudai menggeleng dengan cepat. "Hanya saja, permata ini ... tidak berharga?" sang adik kelas bergidik ngeri membayangkannya. Pemikiran mereka jelas berbeda jauh dengan penghuni asrama Ramshackle. Ia memperhatikan batu di tangannya, kemudian mengangkatnya sedikit lebih tinggi di depan wajahnya.


Floyd memandangi Yuudai keheranan, sementara Yuudai menyetarakan batuan di tangannya setara dengan wajah Floyd. Keduanya diam di tengah lorong dalam keadaan seperti itu, dengan Floyd menunggu Yuudai melakukan sesuatu.

Alis Floyd terangkat saat melihat sebuah senyuman mengembang pada bibir Yuudai.


"Terima kasih, Senpai. Aku akan menjaganya dengan baik," ucap Yuudai.

Floyd masih kebingungan. "Memangnya seberharga itukah bagimu?" tanyanya.

Hanya tawa canggung yang keluar dari bibir Yuudai. "Bukan itu, tapi ... batu ini cantik," gumamnya. Ia menurunkan tangannya, masih memandang topaz itu. Kemudian kembali menengadah sambil menatap mata Floyd. "Dan sejujurnya ... mengingatkanku pada mata kanan Floyd-senpai."


Mata Floyd melebar. Pandangannya bertemu dengan mata Yuudai—sepasang bola mata berwarna kuning. Tidak secermelang batu topaz yang Floyd hasilkan, tidak pula seindah batu-batuan yang Azul sukai. Hanya saja netra kuning itu selalu menatap Floyd dengan sesuatu yang sulit Floyd kenali.

Oh, sekarang dia mengerti. Floyd tidak biasanya tertarik dengan batu-batuan yang ia buat. Dia selalu memberikan segalanya pada Azul dan Jade, namun hanya kali ini dia mengambil satu dari sekian batu-batuan indah lainnya. Sebuah batu topaz kecil, berwarna kuning.

Kuning pada bola mata Yuudai mungkin tidak secermelang batu topaz itu, namun saat ini ia tidak bisa tidak berpikir gemilang pada netra kuning sang Prefect dari Ramshackle itu cantik.


✽✽✽

Coloruary || Floyd LeechTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang