Suri

1.5K 367 41
                                    

Sudah hampir dua jam aku mendengarkan obrolan Filosofia dengan teman fangirling-nya. Siapa namanya? Sita? Itulah. Pokoknya yang rela ngabisin duit buat bikin billboard ucapan Happy Birthday buat idol-idol Korea.

"Terus, pas Kakak video call sama ENHYPEN, Kakak sempat titip salam buat Jake dari aku, nggak?" tanya Filosofia antusias.

"Aduh! Mian, Fil. Gue nggak sempet. Waktunya mepet banget." Perempuan itu lantas memandangku. "By the way, cowok lo kayaknya dah mati kebosanan, nih."

Alhamdulillah... akhirnya peka.

Aku tersenyum hiperbolis sampai membuat kedua mataku menyipit segaris. Namun, Filosofia tampak tak peduli. Ia mengibaskan tangan.

"Biarin aja. Abis ini juga dia bakal beli waktuku kok, Kak." Ia menyengir.

Sebelumnya, kami memang saling berjanji. Aku akan menemaninya bertemu dengan temannya dan ia mau kuajak sampai malam. Ia sengaja cuti sehari untuk bersamaku. Biasanya, aku dicuekin karena ia semakin sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, aku ingin memanfaatkan waktu yang sedikit ini.

Aku bisa bernapas lega saat Filosofia berpisah dengan temannya itu. Kini, hanya aku dan ia, berjalan berdua meninggalkan coffeeshop, mengelilingi mal.

"Bosen ya lo dengerin gue nge-fangirl?" tanyanya.

"Gue cuma nggak paham. Sumpah. Mian, mian, omo, jinjja. Apaan, sih?? Ngelihat lo aegyo aja gue jijik." Padahal sih tidak.

Filosofia tertawa. "Hilih. Loh mah nggak bakal tahu dunia perfandoman. Harusnya lo dukung gue kek! 'Filosofia sayang. Kamu cantik banget loh kalau lagi fangirling. Aku makin cinta.' Gitu."

"Lo mah terlalu proyeksiin gue kayak tokoh-tokoh di novel romance." Aku mendecak lidah.

Filosofia mendengus. "Emang bener ya cowok paling sempurna di dunia ini cuma Min Yoongi."

"Itu siapa lagi?"

"Gimana, sih? Lo nanem saham berlot-lot di Hybe, tapi nggak ngerti Min Yoongi."

Kami menuruni lift. "Ya gue kan urusannya sama bisnisnya, bukan artisnya. Artisnya mah urusan lo."

"Itu member BTS juga, Bambang! Elah, lama-lama gue paksa lo ngapalin nama sama muka membernya satu per satu."

Aku mencengkeram pundaknya lembut dan membantunya berjalan melewati pembatas lift dengan lantai—ia hampir saja jatuh tersandung.

"Gue tahunya cuma si jongkok."

"Jeongguk," katanya.

"Iya."

"Ulangi. Jeongguk."

Aku menurutinya. "Jeongguk."

"Jangan ngubah-ngubah nama orang. Nggak sopan." Filosofia mencebikkan bibir kesal.

Haha. Aku suka saja menjahilinya seperti ini. Ia kelihatan menggemaskan kalau begini.

Beberapa waktu lagi, aku harus ke London untuk mengurusi sesuatu sesuai perintah Papa. Aku belum mengobrolkan ini ke Filosofia. Mungkin, nanti kalau sedang santai. Sebab, kepergianku kali ini cukup lama. Kurang lebih sebulan.

Kami menonton film. Sebenarnya, aku tak begitu menikmati jalan cerita karena Filosofia yang memilih. Yang kulakukan sepanjang film hanyalah menguap, makan pop corn, minum, atau curi-curi kesempatan memegang tangan Filosofia. Sesekali ia mengaitkan jemari kami, lalu tiba-tiba melepasnya untuk makan pop corn. Ia memandangku, mengulum jemarinya hingga terdengar bunyi kecapan, lalu memegang tanganku sambil tersenyum lebar. Aku hanya bisa menyengir dan melepas tangannya. Kuusap tanganku yang sedikit basah kena liurnya ke permukaan celana jins.

Saujana (Iota Rho's story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang