Filosofia memukul kepalaku. Aku mengaduh kesakitan dan mengusap-usapnya.
"Heh! Jangan ngomong aneh-aneh. Ya kali gue kawin lari. Nanti nggak bisa gue pamerin di Instagram, dong? Nanti kalau gue dikira hamil di luar nikah gimana?? Gila lo."
Seketika, aku berhenti mengusap-usap kepalanya dan mencubit gemas kedua pipinya hingga membuat ia mengerang. Tangannya mencoba melepaskan tanganku yang masih di pipinya. Ia berhasil menghindar dan menggosok pipinya yang memerah. Bibirnya mengerucut jengkel.
"Kalau lo nggak mau makan, gue habisin semua," katanya sambil melahap odeng yang sudah dingin.
"Makan aja semua. Gue masih kenyang." Aku menepuk puncak kepalanya, lantas mengusap lembut rambutnya. Senyum mengembang samar di bibirku.
Filosofia memandangku dengan senyuman serupa. Ia membiarkan rambutnya kuelus. Aku mengamatinya dengan saksama dan menyadari senyumku perlahan lenyap.
*
Hampir sejam aku duduk termangu memandangi beberapa ekor anjing yang sedang bermain di salah satu ruangan. Melamun memikirkan banyak hal. Sudah lama aku tak mengunjungi pet shelter Dokter Ivanka. Jumlah hewan yang di-rescue pun makin bertambah—walaupun makin banyak pula yang datang mengadopsi. Namun, hewan-hewan yang sakit atau lemah tak pernah ada yang mau melirik sehingga banyak yang dieutanasia dengan terpaksa.
"We will take her down in a couple days." Dokter Ivanka berdiri di sebelahku.
Aku menoleh ke arahnya, lalu berdiri. Kuanggukkan kepala dan mengikuti perempuan itu menuju ruangan khusus hewan sakit. Di salah satu kandang, ada seekor anjing pomeranian teacup yang bergelung, tampak lemah tak berdaya. Ada selang infus yang dipasang di tangan kecilnya. Anjing bernama Misty itu tak mau makan sejak dibuang majikannya yang sakit keras dan tak sanggup merawatnya lagi, membuatnya jatuh sakit. Berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk mencarikan majikan baru. Namun, Misty tetap tak bersemangat—termasuk saat melihatku. Dokter Ivanka bersama dokter lainnya di shelter itu mau tak mau mengambil tindakan eutanasia.
"Anjing yang malang," kata Dokter Ivanka. "Sebegitu patah hatinya sampai nggak mau percaya dengan orang lain. Kami sudah berusaha membujuk pemiliknya, tapi ternyata beliau sudah meninggal beberapa hari lalu. Anaknya nggak mau ambil untuk merawat karena dia punya bayi yang alergi anjing."
Ponselku bergetar. Aku merogoh saku, mengambil ponsel, dan melihat nama Filosofia. Kuangkat panggilan darinya.
"Gue udah di luar, nih. Lo di mana?"
"Masuk aja sini."
"Hm... oke oke."
Selang beberapa saat, Filosofia yang celingukan sana-sini masuk ke ruangan. Ia menyapa Dokter Ivanka, lalu memandang Misty yang sejak tadi kuamati.
"Aduh... kasihan. Dia sakit apa?" Filosofia membungkukkan badan, semakin mendekat untuk memandangi anjing itu. Jari-jemarinya diketuk-ketuk ke jeruji, membuat Misty mengangkat kepala lemah.
Ekspresiku berubah saat melihat Misty mengangkat kepalanya lebih tegak, mengendus-endus jeruji, tepat di mana Filosofia menekan telunjuknya. Dokter Ivanka segera mendekat dan mengamati pergerakan Misty.
"Wah... sepertinya dia sangat responsif. Tunggu sebentar." Dokter Ivanka memanggil salah seorang staf untuk membukakan pintu jeruji tersebut.
Filosofia memandangku dengan senyum semringah. "Eh, kayaknya dia suka sama gue."
Aku balas tersenyum. "Hm."
Dokter Ivanka dan seorang staf masuk lagi. Pintu dibuka. Misty diperiksa selama beberapa saat. Lalu, pandangan Dokter Ivanka berlabuh ke Filosofia yang masih memperhatikan Misty dengan mata polos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana (Iota Rho's story)
Chick-LitBuku ini terdiri dari rindu yang lama mengendap.