"Aku kangen banget. Sama Kak Filosofia juga."
Senyumku mengembang melihat Cassie di layar ponsel. Ada selang di hidung yang membantunya bernapas. Aku bersyukur karena ada keajaiban yang membuat ia masih bertahan sampai detik ini, biarpun keadaannya tidak berkembang sama sekali.
"Nanti aku bawa dia ke sana," janjiku.
Raut wajah Cassie berubah total. "Sumpah?" Matanya yang cekung berbinar-binar. "Ah, I really can't wait!" Ia tiba-tiba mengubah lagi ekspresinya. "Oh, ya. Kakak di sana nggak ada masalah sama Papa, kan?"
"Don't worry. I can handle him."
"No, you can't." Nada Cassie tegas. "Kakak selalu bilang baik-baik aja, padahal nggak sama sekali." Bola matanya berputar kesal. "Janji ke aku kalau ada apa-apa, Kakak nekat kabur aja. Kawin lari sama Kak Filo dan hidup bahagia di mana pun tanpa Papa. Oke??"
Aku tertawa. "Iya."
Dari seberang, aku mendengar samar-samar suara Si Nenek Sihir yang mendekati kamar Cassie. Adik tiriku itu buru-buru melambaikan tangan dan mematikan sambungan telepon. Si Nenek Sihir memang tidak suka jika Cassie masih suka menghubungiku. Apalagi jika aku ke London, ada saja kelakuannya yang bikin aku kehilangan kesabaran. Fucking annoying bitch.
Sebelum memutuskan tidur, aku membuka lagi pesan yang tadi dikirim dan hanya kutinggalkan terbaca. Aku mengembuskan napas panjang. Memilih tidak membalas dan meletakkan ponsel ke atas nakas, bersiap tidur. Namun, baru juga beberapa menit menutup mata, ponselku berdering. Aku mendengus kesal. Kuraih ponsel dan mendekatkannya ke telinga tanpa memperhatikan nama penelepon.
"Halo?"
"Kok cuma dibaca? Hai, Ilalang. Jangan sok nggak kenal, deh."
Bibirku mengatup rapat. "Sekarang jam satu malem. You disturb me."
"Ups. Sorry not sorry." Cewek di seberang, Ratu, malah tertawa. "Gue baru dapat nomor baru lo dari bokap lo. Makanya gue seneng dan langsung ngabarin."
Aku menyatukan alis. "Dan, dia nggak cerita kalau gue udah punya cewek?"
"Belum ada niatan nikah, kan?" Ratu mengucapkan itu begitu gampangnya. Aku mendengar suara lalu lalang orang. Sepertinya ia sedang di tengah-tengah kerumunan.
"Sorry, Babe. Gue orang yang setia."
Ratu terkekeh. "Iya, percaya. Apalah gue yang cuma kenal lo baru-baru ini." Aku mendengar suara embusan napasnya. Kami memang baru mengenal saat aku 'kabur' dari Indonesia dan sibuk-sibuknya mengikuti ego Papa. Papa memperkenalkan kami karena cewek itu anak dari teman bisnisnya.
"Gue mau tidur."
"Oke. Yang penting gue bisa denger suara lo. Gue tunggu lo balik ke sini."
"Ya, hm, gue bakal balik ke sana dan ngenalin cewek gue ke lo sekalian."
"I think we will be a good friend. Gue tunggu cewek lo juga di sini. See ya, Babe." Ratu memutus sambungan lebih dulu.
Aku mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mematikan ponsel agar tak ada yang menggangguku tidur, dan meletakkan gawai itu di atas nakas. Mataku kembali memejam untuk mengarungi mimpi.
***
Tanganku menopang satu kepala yang pening mendengar canda tawa ala bapak-bapak pengusaha yang sedang makan malam bersama sambil membicarakan bisnis. Syukurlah, Papa tidak ada di sini. Ia yang memintaku mewakili makan malam itu untuk membahas sebuah proyek. Namun, alih-alih proyek, kebanyakan orang-orang ini malah membahas hal lain; liburan ke luar negeri diam-diam, pesta di kapal pesiar, dan cewek simpanan. Bola mataku berputar ke atas selama mendengarkan obrolan itu. Man, I wish I can punch them in the head. Kasihan sekali istri mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana (Iota Rho's story)
ChickLitBuku ini terdiri dari rindu yang lama mengendap.