I

50 11 6
                                    

Semua hanya tentang waktu

-arsyakayla
•••


ARSYAKAYLA mengusap kedua lengannya yang terasa ngilu akibat hembusan angin malam disertai hujan. Hawa dingin seakan menusuk kedalam tulangnya. Rambut yang panjang terlihat berkibas akibat terkena hembusan angin.

Malam itu, ia berada di balkon kamarnya untuk sekedar menyapa hujan. Namun tiba-tiba air mata menetes seakan membayangkan kehidupan yang ia lalui. Kehidupan yang hanya membuat ia tersenyum palsu. Ya! Palsu, senyum bohong!. Ia hanya tersenyum bohong. Karena dia hanya bisa menerima semua kenyataan dengan tersenyum. Ia berusaha kuat dan tegar dihadapan orang-orang agar terlihat tidak memiliki beban. Namun, realitanya ia memiliki rasa sakit yang hanya dipendam. Tidak ada orang yang tahu bahwa ia menyimpan semua luka. Luka yang membuat ia harus mendewasakan diri.

Sembari menikmati angin dan hujan. Arsykayla mulai menggoreskan tinta ke buku yang dia gunakan untuk meluapkan lukanya.

18-2-2020

Berusaha mendewasakan diri dengan pernyataan yang menggoreskan luka
Seakan berdiri sendiri walaupun banyak orang disekitarku
Namun, mereka tak pernah mau memperhatikanku
Mereka hanya melihat aku tersenyum untuk menerima luka
Tak ada yang mempedulikan perasaanku
Mereka hanya berbicara semau mereka
dan aku hanya bisa membungkam mulutku
untuk selalu diam dan mengoreksi diri.

Pintaku
semoga semua ini cepat membaik.
•••

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00, Syaka mulai menutup bukunya dan masuk ke dalam kamar. Sebelum tidur Syaka melakukan kebiasaannya.

Semangat untuk hari besok, Syaka. Ucap Syaka sambil bercermin. Bercermin dan memberi semangat kepada diri sendiri adalah hal yang dilakukan Syaka setiap malam.

***


Tringgg......tringgg.....

Bunyi jam yang sangat melengking terdengar. Syaka segera bangun untuk bergegas berangkat untuk kuliah pagi. Hampir memakan waktu 30 menit Syaka bersiap-siap. Acara mandi berlangsung dengan lama karena ia ingin menyegarkan badannya.

Setelah selesai bersiap, Syaka memandangi dirinya di depan cermin untuk menyemangati dirinya sendiri. Tak ada hari tanpa semangat walaupun di patahkan oleh cacian dari luar. Syaka bergegas turun kebawah untuk sarapan bersama keluarganya. Dengan Langkah bergegas, Syaka menuruni anak tangga. Gadis tersebut menggunakan blazer rajut berwarna biru yang senada dengan celana jeans.

Sesampainya di anak tangga paling bawah, terdengar suara kakaknya. "Wih anak kuliahan mau ngehabisin uang mamah ni," katanya sembari menatap Syaka dengan sinis.

Syaka pun hanya bisa diam dan tersenyum. Kemudian ia duduk di meja makan. Setengah kegiatan sarapan, Dania (mamah Syaka) bertanya "Semester berapa kamu, Syaka?"

"Semester lima mah, kenapa mah?" jawabku sambil melihat lawan bicara.

"Wah, masih lama ya ternyata. Masih jadi tanggungan mamah dong! Contoh kakak kamu lah, setelah SMA dia langsung bekerja. Kan lumayan udah punya penghasilan sendiri," Jawab Dania sambil menggelengkan kepala.

Perkataan Dania membuat mata Syaka mulai berkaca-kaca, namun tetap ia tahan untuk tidak menangis. Karna ia tidak akan menampakkan kesedihannya kepada orang lain. Bukannya orang tua harus mendukung apa yang dilakukan anaknya? Bukan malah menjatuhkan ataupun membandingkan. Karena setiap anak memiliki cita-cita yang berbeda.

"Mah Syaka kan kuliah karna ada beasiswa, Mah," jawab Syaka menunduk, karena takut melihat wajah mamahnya yang menahan marah.

"Iya mamah tau, uang makan kan dari mamah dan dibantu kakak kamu. Makanya cepat bekerja biar punya penghasilan sendiri. Bukan Cuma minta duit aja." Perkataan Dania, yang selalu membandingkan Syaka dengan kakaknya.

'Iya mah, setelah selesai kuliah Syaka akan langsung cari kerjaan, biar Syaka bisa punya penghasilan dan ga ngerepotin mamah lagi." Padahal realitanya Syaka bekerja part time untuk memenuhi kebutuhannya. Namun mamah dan kakaknya tidak mengetahui hal itu. Jika mamah dan kakanya tahu, Syaka akan dimarahi habis-habisan.

"Nah! untung langsung sadar nih anak," timpal Lio (kakak Skala) sambil menatap Syaka dengan tak suka.

Syaka pun menghabiskan makan dan bergegas untuk berangkat kuliah. Syaka mengulurkan tangannya untuk berpamitan ke mamah dan kakaknya. "Nyusahin emang." Perkataan sinis dari Lio. Singkat namun membekas di hati. Syaka pun hanya tersenyum menanggapi kakaknya. Setelah berpamitan, Syaka pun bergegas keluar rumah karena sudah tidak bisa membendung air matanya.

Syaka mulai menghapus air matanya dengan kasar. Setelah puas, ia menghela napas dan tersenyum. Mau sampai kapan ia seperti ini? Kapan Bahagia datang kepadanya? Kesalahan apa yang pernah ia lakukan hingga ia tidak merasakan kebahagiaan dalam keluarga. Lalu, apa yang dapat membuat mereka bisa memperhatikannya seperti kebanyakan anak di luaran sana?. Lelah, itu yang dirasakan Syaka setiap saat.

***

Syaka mulai mengendarai motornya untuk menuju kerumah Auris, sahabatnya sejak SMP. Syaka mengendarai motornya dengan santai sambil menikmati semilir angin kota di pagi hari. Semilir angin kota menyapu wajah Syaka, gadis itu sangat menikmati hawa ini.

Setelah lima menit mengendarai motor, akhirnya Syaka sampai di rumah Auris. Syaka mulai turun dari motor dan menuju ke pintu rumah.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

"Aaaa...Tante, Syaka kangen sama tante, udah lama juga ga ketemu tan," Syaka memeluk tante Fira (mamah Auris) untuk melepas rindu. Tante Fira pun membalas pelukan dari Syaka.

"Astaga, makin cantik aja kamu yah, tapi masi cantikan tante si, hehehe." Candaan tante Fira.

Tante Fira bekerja di luar kota, jadi jarang sekali Syaka untuk bertemu dengan tante Fira. Dirumah ini, Syaka bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu. Tante Fira menganggap Syaka seperti anaknya sendiri. Tante Fira tidak membedakan antara Syaka dan Auris. Namun, Syaka tidak cerita masalah keluarganya dengan tante Fira. Ia hanya menceritakannya kepada Auris, sahabat sekaligus keluarga. Auris hanya tinggal bersama mami dan asisten rumah tangganya. Papi Auris meninggal waktu dia berumur 10 tahun akibat kecelakaan. Tante Fira memutuskan untuk tidak menikah lagi karna ia ingin fokus dengan Auris. Dan Tante fira pernah mengatakan bahwa ia tidak ingin jika menikah lagi, malah mendapat suami yang membedakan Auris dengan anak dari suaminya itu.

"Tan, kalau gitu Syaka ke kamar Auris dulu ya, Tan?"

"Okey, sayang, mungkin Auris lagi dandan, kan dia kalau udah macak suka lupa waktu." Jelas Tante Fira

"Iya tante bener, kalo gitu Syaka naik dulu ya, Tan? Daaaaa,"

Syaka menaiki anak tangga satu persatu untuk menuju ke kamar sahabatnya. Kamar dengan ukuran 4 x 6 dapat menampung beberapa teman Auris. Ruangan ini adalah ruangan yang nyaman digunakan untuk berbincang. Dan Syaka sangat nyaman berada disini.

"Ris.. riss.. buka, gawat nih." Syaka mengetuk pintu dengan keras

"Apa? Mami kenapa?" jawab Auris ketakutan. Auris membuka pintu dengan perasaan yang campur aduk. Ya, Auris adalah anak yang mudah cemas dalam hal apapun. Entah apa yang membuat dirinya memiliki sifat kecemasan itu. Syaka sudah berusaha mencari tahu. Namun, saat membahas hal itu Auris suka mengalihkan pembicaraan. Seakan-akan ia tidak ingin Syaka mengetahui apa yang membuatnya menjadi mudah cemas. Padahal Auris selalu menceritakan dan berkeluh kesah kepada Syaka apapun masalahnya. Namun, untuk masalah kecemasan Auris tidak memberitahunya. Mami Auris pun tidak tahu jika anaknya ini memiliki kecemasan yang sangat tinggi.

"Awas, Ris minggir, jangan ngehalangi jalan."




•••bersambung•••

KLANDESTINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang