Prolog

577 88 21
                                    

For You, Who Color Me HueDecember, 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

For You, Who Color Me Hue
December, 2021

———

"Aduh tinggi ya ...," keluh seorang nenek yang terlihat kesulitan meraih lampu di rak paling atas. Suaranya yang halus dan sedikit bergetar berhasil menarik perhatian Yoga yang kebetulan sedang berada di lorong yang sama. Toko perangkat keras itu sedang sepi.

"Ibu mau ambil apa? Coba saya ambilin, ya," ucap pria itu. 

"Itu nak, lampu tidur yang tangkainya biru, kedua dari kiri."

Yoga lantas meletakkan cardigan yang sedari tadi ia tenteng di atas meja kosong di dekat tempatnya berdiri sekarang karena ternyata ac mall siang itu tidak cukup sejuk hingga membuatnya sedikit berkeringat. Ia meraih tangga lipat yang disandarkan di ujung etalase untuk mengambil barang yang dimaksud.

"Terima kasih ya, nak ...." Sang nenek pun berlalu setelah menyalami Yoga yang langsung membalas dengan bungkukan sopan.

One of many perks of being an expat, Yoga jadi punya pilihan untuk tinggal di apartemen yang letaknya strategis, mewah, dan dekat dengan kawasan bisnis ibu kota. Sejak kembali ke Jakarta, toko hardware di mall yang menempel tepat dengan apartemennya ini selalu jadi tempat pelarian saat bosan menyerang.

Laki-laki itu baru selesai mengembalikan tangga lipat tadi ke tempat semula saat tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya pelan.

"Mas, sini deh ...." Ada sosok seorang wanita yang terlihat kebingungan dengan dua kotak lampu bohlam di genggaman tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya sibuk memastikan ponsel yang saat ini menempel ke telinga tetap ada di posisinya. Setelah Yoga menoleh, wanita itu langsung berjalan cepat dan memberikan gestur agar Yoga mengikutinya. Ia lalu berhenti di depan lorong yang memamerkan berbagai jenis obeng.

"Tapi sangkutan lemarinya masih ada? Lengkap sama sekrup-sekrupnya?" Perempuan yang terlihat seperti berusia akhir dua puluhan itu masih sibuk berbicara di telepon dan Yoga hanya memperhatikannya dalam diam, bingung mencari waktu yang pas untuk menyela.

"Engselnya itu loh, Bu ... Porosnya pintu ... Tapi Binar udah di cek lagi? Nggak kena apa-apanya kan?" lanjutnya sambil menghadap ke arah Yoga, memberikan gestur agar pria itu menunggu sebentar. Rambutnya yang panjang dicepol asal ke atas, namun pakaiannya rapi seperti orang yang baru pulang kantor, padahal ini hari Sabtu.

Yoga sebenarnya tidak harus menuruti permintaan barusan untuk menunggu, tapi dirinya terlalu segan untuk menolak. Dari nada bicaranya barusan, sepertinya perempuan itu terdengar agak panik.

"Oke yaudah, ada lagi yang perlu dibeli? Iya, bohlam udah. Oke, oke, aku pulang abis ini ya. Iya, Assalamualaikum." Akhirnya pembicaraan di telepon pun selesai.

"Lemari baju nih, Mas, tau-tau copot, padahal sebelumnya nggak sempet keliatan oglek-oglek dia. Kan bahaya ya?" Ujar perempuan itu tiba-tiba.

"Saya tuh butuh obeng kan yang buat ngencengin sekrupnya, tapi saya nggak tau model ujungnya kayak apa mas. Terus kayaknya semua yang pake sekrup di rumah mau saya kencengin deh, takut kejadian kayak gini lagi, ada anak kecil soalnya."

"Okay?" Yoga menyimak, namun di saat yang bersamaan masih kebingungan.

"Nah, saya mendingan beli yang kayak apa ya obengnya biar bisa universal gitu? Apa mesti banyak beli satu-satu tapi beda kepala obengnya?"

"Beli yang kit aja, Mbak. Nanti mata obengnya bisa diganti-ganti," jawab Yoga serius. Matanya langsung berkeliling ke beberapa rak untuk mencari jenis obeng yang dimaksud.

"Kayak gini?" Perempuan itu mengambil sebuah kit obeng berukuran kecil.

"Iya kayak gitu, tapi menurut saya yang itu penggunaanya nggak nyaman, pegangannya kecil dan bisa ketekuk-tekuk soalnya." Yoga masih fokus mencari barang yang ia maksud.

"Ini bagus nih, Mbak ...." Laki-laki itu akhirnya menyerahkan kit yang lengkap namun dari kemasannya, terlihat jelas bahwa ini adalah seri eksklusif. Melihat harga yang tertera, mata perempuan itu langsung memicing.

"Yang biasa aja deh, Mas! Jarang kepake ini kan barangnya ...."

"Menurut saya ini lebih bagus ya, Mbak. Lebih kokoh juga, jadi lebih awet."

"Iya lah! Masnya kan jualan, nyodorinnya pasti yang lebih mahal dong!" perempuan itu tertawa, "saya ngerti kok Mas, saya juga jualan soalnya."

Yoga baru akan mengeluarkan bantahan, namun lagi-lagi kalah cepat dari pergerakan lawan bicaranya yang langsung pamit, "nggak usah pake nota kan ini ya? Saya langsung ke kasir deh ... Thanks ya, Mas!"

Laki-laki itu mengerutkan kedua alisnya, lalu seketika menyadari apa yang baru saja terjadi saat ada petugas toko lewat di hadapannya. Kaus hitam berkerah yang ia pakai sama persis dengan seragam petugas tersebut, membuatnya buru-buru mencari cardigan yang ternyata tertinggal di meja lorong lampu.

Sambil berjalan ke arah pintu ke luar, laki-laki itu mengulum senyumnya, menggeleng pelan mengingat kejadian yang barusan menimpa. Di antara cerita hidupnya yang akhir-akhir ini hanya diisi oleh urusan pekerjaan, Yoga akhirnya punya sedikit warna tak biasa yang mungkin bisa ia tulis di buku catatannya nanti malam.

Langkahnya terhenti saat melihat pengharum mobil tergantung di dekat kasir dan memutuskan untuk mendapatkan beberapa sebagai cadangan. Sembari menunggu kasir menyelesaikan transaksi, Yoga mengedarkan pandangannya dan tak sengaja bertemu mata dengan perempuan yang tadi mengiranya sebagai pegawai toko. Dia juga sedang membayar beberapa belanjaannya di kasir lain yang berjarak beberapa meter dari posisi Yoga berdiri sekarang.

Pria itu pun reflek mengangguk dan tersenyum kecil. Sebaliknya, perempuan itu justru panik, buru-buru menyelesaikan pembayaran dan bergegas ke luar dari toko. Yoga cepat mengganti senyumnya menjadi tawa dan matanya belum lepas mengikuti punggung yang kian menjauh karena jalan cepat-cepat.

"Pak!" Tanpa sadar, rupanya Yoga sudah mengacuhkan panggilan kasir sejak beberapa detik yang lalu. 

"Oh, sorry, sorry!"

"Lima puluh enam ribu ya, Pak. Ada member?"

 Ada member?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
For You, Who Color Me Hue [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang