"Aku pengen liburan abis ujian," ucap Dirgantara--pelan sekali.
Enam kata itu terdengar gamang. Aku melongo. Tepuk-tepuk pipi memastikan permintaan itu benar-benar keluar dari mulut Dirgantara yang sudah setahun lebih mengucilkan diri dari dunia. Mata melebar dan hampir keluar dari lubangnya.
"Kamu ... pengen liburan? Ya Tuhan! Alhamdulillah! Akhirnya!"
Rasanya ingin menari tiada henti hanya karena mendengar Dirgantara ingin pergi hibur diri.
"Ya, aku pengen liburan ke tempat-tempat sejarah. Sekalian menenangkan diri juga. Tapi ... "
Aku melihat ada keraguan di sana. Kuberikan dia senyum terbaik agar bisa tenang.
"Ngomong aja, gak apa-apa."
"Sama kamu?"
"Pasti. Aku bakalan ikut ke mana pun kamu pergi, Di. Nguras laut, lukis langit, daki seribu gunung atau nyeberangi jutaan lembah bersungai dengan dinding batu. Bahkan, kalau kamu pilih menetap di kutub utara, aku juga ikut!" seruku terlampau bahagia.
Lumayan jalan-jalan gratis, pikirku.
"Opa sama Oma udah ngizinin, dua bulan lagi kita berangkat. Setelah ujian."
Mataku mengerling jahil. "Aku mau izin sama emak dulu. Kalau diizinkan, kita bikin KTP. Terus aku ambil tabungan."
"Buat apa?"
"Jajan," jawabku ringan.
"Gak! Jangan ambil! Opa sama Oma udah siapin. Mereka senang waktu aku pengen liburan," kata Dirgantara sembari menatap kosong ke luar jendela.
Angin berembus cukup kencang mempermainkan semua benda ringan. Dedaunan luruh tiada henti mengingatkan musim gugur yang pernah ditayangkan di televisi, cokelat, kering, indah dipandang.
Kalau di luar negeri yang gugur adalah daun-daun maple, maka di depan rumahku hanya ada pohon kedondong dan belimbing. Di sebelah samping ada mangga, delima dan jambu. Di belakang ada pohon sawo dan jeruk bali.
Menatap Dirgantara yang terus menerus kehilangan semangat hidup membuatku tertarik untuk terus menggenggam tangannya. Wajar saja Opa dan Omanya senang bukan kepalang mendengar cucu yang hampir setahun mati gairah, ingin pergi liburan.
Kalau mereka ingin jungkir balik sampai encok kambuh pun tak masalah. Dirgantara adalah cucu satu-satunya. Harapan dan tumpuan menjalankan perusahaan yang bergerak di bidang otomotif, susu dan farmasi sudah digantung di pundaknya sejak lahir.
Awal-awal aku berteman dengan Dirgantara, mereka tak suka dan memintaku jauh-jauh. Maklum, menurut orang kaya keturunan mereka tak pantas berteman dengan orang susah. Takut membawa pengaruh buruk.
Namun, setelah melihat setitik perubahan di diri Dirgantara, akhirnya mereka membiarkan. Bahkan sangat menginginkan aku terus berada di dekatnya. Aku tak mengharap banyak hal selain cowok itu kembali hidup normal seperti sediakala.
Andai nanti Opa dan Oma mengusirku dari kehidupan cucunya saat dia sudah sembuh. Tak masalah lagi karena kewajiban yang pernah aku janjikan dalam hati sudah selesai.
"Kenapa bengong?" Dirgantara menatapku lekat. "Kamu sakit?"
Ah, kamu bicara banyak hari ini, Di. Aku senang sekali mendengar suaramu yang terus bertanya tiada henti.
"Gak, aku pengen tahu rencana kamu selama liburan nanti. Mau cerita?"
"Ya." Dia mengangguk. "Nanti kita keliling pakai mobil. Tinggal di hotel, makan di pinggir jalan dan beli oleh-oleh yang banyak. Aku udah nyiapin banyak buku buat kamu baca sepanjang perjalanan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...