Tiga koper besar telah dimasukkan supir dalam bagasi Pajero, kendaraan yang akan membawa kami keliling ke berbagai tempat sejarah sesuai dengan keinginan Dirgantara. Jalan-jalan gratis, euy.
Emak dan Abang awalnya keberatan karena baru kali ini aku pergi jauh tanpa mereka. Maklum anak bontot. Apa-apa harus sama keluarga. Apa-apa tak boleh sendirian. Apa-apa harus melewati jalur aman.
Katakan bye pada eksplorasi mandiri. Namun, pada akhirnya apa pun kondisi tetap bisa aku menangkan.
Dibantu Dirgantara, kami berhasil meyakinkan kalau Pak Alex dan Bu Tara--istrinya--akan menjaga kami dengan baik.
Meski matahari belum muncul dari balik gagahnya gedung pencakar langit Jakarta, aku sudah siap berpetualang bersama Dirgantara.
Ujian nasional baru saja selesai seminggu lalu. Kami berharap dapat nilai bagus dan akan kuliah di jurusan yang sama, serta universitas sama pula. Aku akan berjuang mendapatkan beasiswa penuh sampai lulus bersamanya.
Walau tak sepintar Dirgantara, peringkat dua tak pernah bisa digeser siapa pun. Aku yakin pasti bisa meraihnya. Karena jujur, bila mengharapkan biaya dari Abang dan Emak, sama saja mencekik leher keduanya dengan tali rafia.
Sebelum berangkat, aku menyempatkan diri memeluk Emak dan Abang sebentar. Disusul Dirgantara yang terlihat tampan dengan stelan hitam-hitam. Dia, mah, good looking di segala kondisi. Beda sama aku. Jalannya besok, dari kemarin sudah ribet pilih baju yang cocok sama warna kulit.
"Kalian hati-hati di jalan, jangan pisah kalau mau ke mana-mana. Ingat, jangan nyusahin Pak Alex sama Bu Tara!" pesan Emak. "Sebenarnya, Emak gak sampai hati izinin kalian pergi. Cuman, abis ujian pasti butuh ripresing."
Emakku gaul, tahu kata refreshing.
"Ah, emak gak seru. Ini, tuh, liburan pertama Didi. Nanti aja sedih-sedihnya. Sekarang ketawa dulu." Kucubit pipi Emak biar dibilang so sweet.
"Emak sama Abang mau ikut?" tanya Dirgantara spontan.
"Siapa, sih, yang gak mau jalan-jalan gratis? Cuman, gak sekarang. Abang harus kerja. Nanti aja waktu libur lebaran ajakin Abang main. Ke luar negeri kita. Mikhaela gak usah dibawa, ngerepotin anaknya," cibir Bang Khalil jahat.
Satu pijakan kuat mendarat di kaki sebagai pembalasan. Anda kesakitan, saya bikin syukuran.
"Mi, ini liburan pertama kamu tanpa Emak dan Abang. Kamu juga, Di. Kalian pergi sendirian. Biar kata ada Pak Alex sama Bu Tara tetap hati-hati di tempat orang. Jaga sikap dan sopan santun, ya? Emak gak mau dengar berita buruk pas kalian pulang."
"Iya, Mak. Iya."
"Di, nanti kalau Mikhaela nyusahin jangan ditinggal. Dorong aja ke sungai!" Abang tertawa melihatku cemberut. "Bercanda. Nasihat tadi buat kalian berdua. Ingat baik-baik!"
"Oke." Aku dan Dirgantara mengangguk patuh.
Bu Tara yang sejak tadi diam menyalami Emak. "Saya pamit, ya, Bu? Insyaallah, anak-anak aman sama saya."
"Sebenarnya saya gak enak ngerepotin. Minta tolong jagain, ya, Bu. Anak saya belum pernah ke mana-mana sendirian. Takutnya nyasar."
"Emak, ih!" rajukku.
Mereka semua tertawa. Kami kompak kembali salaman dengan para tetua, lalu masuk ke mobil yang sudah dimodifikasi senyaman mungkin.
Bayangkan saja tempat duduknya dibongkar, tinggal dua jok lumayan panjang di kiri dan kanan menyisakan ruang kosong di tengah serta ada meja agak panjang yang dilekatkan di bawah menggunakan mur. Di belakangnya ada susunan buku di rak mini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Terbit]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...