PROLOG

16 4 0
                                    

0. Pembukaan

Tidak menyukai bukan berarti membenci

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tidak menyukai bukan berarti membenci.—Langit dan Hujan—

🌧🌧🌧

“Kita main hujan-hujanan lagi, yuk. Kaya dulu.”

Laki-laki yang berwajah suram ini menatap batu nisan yang ada di depannya dengan tatapan sendu. Tersirat ada rasa kerinduan yang mendalam serta rasa penyesalan yang laki-laki itu kini rasakan.

Mengusap batu nisan dengan lembut seraya tersenyum tulus. “Dulu, kamu selalu ngajakin aku buat mandi hujan. Sampai-sampai kita di marahin Mama.”

Air mata yang sedari tadi terbendung kini tidak bisa lagi di cegah untuk keluar. Menetes dan bercampur jadi satu dengan air hujan yang terus saja berjatuhan.

“Jujur, aku rindu moment itu. Padahal dulu aku paling nggak suka namanya hujan.” Terdengar suara tawa dari mulut laki-laki itu ketika mengingat kejadian masa lalu yang kini hanya bisa dikenang tanpa bisa diulang.

Menarik napas dalam lalu ia hembuskan secara perlahan. “Kamu di sana pasti lagi liatin aku, kan? Kamu pasti ketawa liat aku cengeng kaya gini.”

“Engga apa-apa aku cengeng. Asalkan aku bisa denger suara tawa kamu lagi kaya dulu.” Laki-laki itu terus saja meracau di depan makam perempuan yang paling ia sayang.

“Aku pamit. Kapan-kapan lagi, ya, mandi hujannya,” kata laki-laki itu. Lalu pergi dari makam. Meninggalkan kerinduan yang mendalam.

Lanjut atau putus?

SaptaPublisher

124Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang