6. Haruskah Semuanya Berakhir?

1K 161 29
                                    

"Tuan Ten dan bayinya baik-baik saja, pak. Tidak ada luka yang serius. Tuan Ten hanya merasa terkejut saat kejadian, ditambah lagi keadaannya yang sedang stress dan kelelahan membuat kondisinya sedikit menurun. Selebihnya tak ada yang perlu dikhawatirkan." Pria berjas putih dengan stetoskop yang dikalungkan di leher itu menjelaskan semua yang harus Ia jelaskan pada wali pasiennya.

Johnny. Pria itu menghela napas lega mendengar penjelasan dokter. Segala kecemasan yang membuntutinya sejak Ia mendapat panggilan dari rumah sakit menguap begitu saja. Beban berat di punggungnya kini menghilang.

"Syukurlah.. Terima kasih, dokter."

"Itu menjadi tugas kami, Pak. Kalau begitu kami permisi."

Sepeninggal dokter itu, Johnny langsung memasuki ruang rawat Ten. Ia menatap sendu sosok pria manis yang berbaring memejamkan mata di atas ranjang pasien dengan selang infus yang terhubung pada punggung tangannya. Hatinya terasa sakit melihat Ten yang seakan tak berdaya.

Ia mendapat panggilan dari rumah sakit beberapa saat yang lalu. Mereka mengatakan jika Ten hampir terserempet mobil dan tak sadarkan diri saat pergi ke supermarket. Dengan itu, Johnny langsung pergi tanpa pikir panjang. Memastikan keadaan Ten dan bayinya adalah hal yang terenting yang harus Ia lakukan.

Johnny menarik sebuah kursi mendekati tempat Ten terbaring dan mendudukinya. Digenggamnya tangan Ten yang terbebas dari jarum infus. Ia mengecup punggung tangan yang putih nan mulus itu cukup lama.

"Maafkan aku." ucap Johnny lirih. Ia memandang lamat wajah pucat Ten. kemudian pandangannya turun pada perut Ten. Johnny mengusapnya dengan amat perlahan. "maafkan aku yang telah menempatkan kalian semua di situasi seperti ini."

Johnny menunduk dalam, masih menggenggam erat tangan prianya."aku seharusnya selalu ada di sisimu. Selalu siaga menjagamu di saat-saat seperti ini. Tapi nyatanya aku hanyalah bajingan penakut. Aku harus mengorbankanmu karena rasa takutku untuk menghadapi Yuta."

"Aku.. Maafkan aku.."

Setetes air jatuh dari matanya. Johnny menangis. Untuk pertama kalinya setelah pertengkaran hebat antara dirinya dan Yuta empat tahun lalu. Lagi-lagi dirinya menangis karena kebodohan yang telah Ia perbuat sendiri.

Johnny merasa gagal dalam segalanya. Ia gagal menjaga kepercayaan Yuta. Ia gagal sebagai ayah yang baik untuk anak-anaknya. Pun Ia gagal menjaga perasaannya untuk tidak jatuh terlalu dalam pada Ten.

"John.."

Johnny mendongak cepat saat mendengar suara Ten. Suara yang terdengar begitu lemah saat menyebut namanya. Mata indahnya terbuka perlahan.

Johnny segera menghapus bekas air mata di pipinya. "Ten? Kau sudah bangun."

"John.."

"Iya, ini aku. Aku disini. Apa ada yang sakit? Aku akan memanggil dokter." Johnny hendak beranjak dari sisi Ten, namun dihentikan oleh genggaman lemah Ten pada tangannya.

"Aku.. Aku baik-baik saja." Ujar pria manis itu dengan suara paraunya. Netra Ten kini terbuka sepenuhnya. Menatap johnny dengan mata bergetar. Ten meraba perutnya sendiri "bayinya.."

Johnny tersenyum menggenggam erat tangan Ten, mencoba menangkan prianya dari kekhawatiran "dia baik-baik saja. Dia anak yang kuat seperti ibunya."

"maafkan aku.." Ten berucap pelan. Pandangannya Ia turunkan, tak berani menatap netra Johnny. "aku- aku seharusnya bisa menjaga diriku sendiri lebih baik.. Tapi aku-"

Ucapan Ten terhenti. Ia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Air mata menetas dari mata indahnya. Isakan pilu terdengar setelahnya.

"Ten.. Ini bukan salahmu. Aku yang salah. Ini semua salahku. Sejak awal aku yang memulainya. Aku yang membawamu pada semua ini. Aku yang-" Johnny menjeda ucapannya saat suaranya mulai bergetar. Ia berusaha menahan tangis. Ia tak ingin menangis sekarang. Tidak dihadapan Ten.

Petrichor [JohnYu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang