Setelah hari di mana Yara dan Asa terjebak hujan sore itu, intensitas pertemuan mereka benar-benar jarang. Asa dengan kegiatannya di OSIS, Yara dengan latihannya di ekstrakurikuler.Padahal rumah masih sebelahan, padahal masih satu gedung sekolah, padahal ruang OSIS dan ruang tari masih bersandingan, padahal masih banyak yang ingin Yara bicarakan dengan Asa. Namun … Ah, sudahlah.
Bahkan bisa-bisanya sudah hampir seminggu ini keduanya tidak bertemu.
Yara berjalan lunglai ke tepi lapangan. Hari sudah siang dan matahari sedang panas-panasnya, sementara gladi kotor baru saja diistirahatkan. Sudah 3 hari ini kegiatan belajar mengajar sedikit dilonggarkan untuk persiapan acara dies natalis.
Gadis itu menunduk dengan napas yang masih sedikit terengah. Yara lelah sekali, ingin rasanya berada di rumah dan rebahan santai sembari scroll sosmed. Yara sudah niat bolos sekolah tadi pagi-pagi sekali, namun Erlan menggeretnya sampai mau mandi dan bersekolah.
"Oyy! Cape, Bu?" celetuk Sherly yang baru datang lalu duduk di sebelah Yara.
Yara mengangkat kepala lalu menatap tanpa semangat pada Sherly. "Lu dateng tuh bawa minum kek, Ly. Jangan tangan kosong. Haus gue, anjir," kata Yara dengan nada sangat lemah.
"Eh!" Sherly tersadar. "Lo belum minum?"
Hanya dibalas gelengan pelan oleh Yara.
"Maaf, Ra. Bentar, gue ambilin," ucap Sherly, sudah niat berdiri. Tetapi Yara menahannya. "Gue ambilin, Ra. Entar lo dehidrasi, pingsan, masuk UKS, disuruh pulang, besoknya belum sembuh. Aduh, Ra, dies natalis bentar lagi, nanti yang gantiin posisi lo siapa—"
"Shut up!" sahut Yara, menatap tajam. Lalu lanjut berkata, "lo doain gue supaya sakit??"
"Nggak!" Sherly geleng-geleng. "Siapa bilang?! Gue tuh cuma berpikir jangka panjang. Makanya sekarang gue mau nyelamatin lo," lanjutnya jadi sewot.
"Nggak usah," balas Yara cuek, kemudian melengos menatap depan.
"Dih! Ngambek lu?" kata Sherly pelan, ia tahu mood Yara sedang tidak bagus.
Sherly menghela napas lalu melemaskan bahu. Tatapannya mencari seseorang. "Atta! Minta tolong, bawain minum ke sini!" serunya pada seseorang di seberang sana. Lalu orang itu mengacungkan jempol tanda setuju.
Kembali pada Yara, Sherly menatapnya sambil merasa prihatin. "Udahlah, Ra. Stop overthinking. Tunggu Angkasa jelasin langsung. Kalo gue sih nggak percaya, ya. Lagian aneh tau nggak. Angkasa tuh udah lama banget nggak ada kabar pacaran, kemarin ada berita deketin cewek pun itu sama lo. Masa tiba-tiba muncul kabar Angkasa pacaran sama ketua ekskul jurnalis. Deketnya sama lo kok jadiannya sama yang lain, prik," cerocos Sherly.
"Lebih prik lagi yang nyebarin gosip sih. Kayaknya harus dicari nih biang keroknya," lanjut Sherly kesal.
Namun selanjutnya Sherly mendadak kepikiran. Ia kembali menoleh pada Yara yang masih diam tak merespons ucapan Sherly. "Ra, temen kelas lo … siapa tuh namanya? Si biang gosip tuh, aduh, gue lupa namanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
YARA & ASANYA | ✔
Teen FictionAngkasa Abrisam bukan lagi green flag, tapi hijau neon. ** Ayyara Khainina Liani tidak lagi percaya pada ketulusan selain dari orang tua dan abangnya. Kejadian di masa lalu menghancurkan rasa percaya Yara pada orang lain. Ia tidak pernah lagi meneri...