Part 3

2 1 0
                                    


Bughh!!

"Awsss! Astagfirullah!" Desisku lemah,  kaiku sangat sakit, karena tarntuk batu setelah benar benar jatuh di dalam jurang ini.

“Aiza! Tolong kakiku tersangkut!!” suara parau milik Nayla mengalihkan perhatianku. Aku segera bangkit walau dengan tertatih.

“N-Nay kamu gak apa-apa??” tanyaku khawatir. “Maaf” hanya lirihan itu yang aku dengar, Nayla menangis. Aku mengeryit tak mengerti. Tapi aku tetap diam, menunggu dia mengucapkan kalimat selanjutnya.

“Maafkan aku Iza, seharusnya ta-tadi kamu pergi a-aja, gausah perduliin aku! Aku sering jahatin kamu, kenapa kamu mau nolong aku?” Ahh! aku mengerti sekarang, dengan seegra aku merangkulnya.

“Sudah tak mengapa, aku sudah memaafkanmu, ingat semua yang kita alami sudah takdir-Nya, kalau emang Allah udah menghendaki aku jatuh ya apapun itu aku tetap jatuh Nay,” ucapku tersenyum tipis, di saat seperti ini, aku tak boleh egois. Dia mengangguk, dan berkata maaf lagi.

“Sudahlah, lebih baik kita berusaha naik yuk?!” ajakku dengan senyum mengembang. Nayla hanya mengangguk dan tersenyum. Kami berusaha untuk naik ke atas, dengan menggunakan akar-akar pohon yang panjang, namun hasilnya nihil. Mencoba memanjat pohon, namun tetap hasilnya nihil. Kami tak bisa memanjat pohon, apalagi pohonnya licin. Berbagai cara kami coba untuk naik ke atas, namun tetap saja hasilnya nihil. Tak kehabisan cara, kami mencoba berteriak sekuat tenaga, namun apalah daya jaraknya terlalu jauh, tenaga kami habis sudah, suara kami juga serak, tenggorokan terasa sakit.

“ TOLOOOONGG KAMII!!!” Nayla masih berusaha berteriak dengar suara paraunya, namun entahlah, ada yang mendengar atau tidak, karena hari sudah sangat larut. Salahku juga, kenapa tadi tak bawa hp, Huh! Aku  pasrah, tubuhku sangat lelah, aku merosot hingga terduduk di tanah lembab itu.

“Sudah Nay! A-aku lelah, rasanya percuma kita teriak, karena jaraknya masih jauh, belum lagi kita ada di bawah,” jelasku putus asa.

Ada rasa menyesal saat tak mau diantar oleh Pak Reno tadi, jika kalian berfikir jika aku juga menyesal mebgantar Nayla, jawabannya adalah tidak, aku sama sekali tak menyesal kala Nayla mengajakku untuk mengantarnya.

Nayla ikut duduk disampingku, wajahnya begitu murung, jalannya sedikit pincang, karena terlilit akar tadi. Kami saling diam, hingga rasa kantuk menyerang, dan kami terlelap dalam jurang itu.

Cahaya matahari dari celah-celah pepohonan membangunkan kami berdua, masih tetap sama, kami masih berada di jurang ini. Hari ini waktunya kami semua untuk pulang, namun bagaimana denganku dan Nayla? Sadarkah mereka jika ada dua anggotanya hilang? Apakah kami akan tetap di sini? Aku hanya bisa berharap pada Allah, agar ada yang menolong kami, atau setidaknya mereka sadar, jika anggotanya hilang.

Kami tak menyerah, kami tetap berusaha untuk bisa keluar dari jurang ini, namun hasilnya masih sama. Ya Allah, sadar atau tidak mereka jika ada anggotanya yang tertinggal disini. Hatiku menjerit meminta pertolongan, aku takut.

“Aiza? Apakah kita ditinggal mereka? Maafkan aku ya?” tanya Nayka datar, namun matanya menyiratkan banyak kegundahan. Nayla menjadi akrab denganku, sejak kejadian kita jatuh itu. “Aku gak tau Nay, tapi aku yakin In sya allah mereka pasti sadar, tapi aku tak tau itu sekarang atau.....nanti,” balasku tenang, dengan lirihan di kata terakhir, walau hatiku bergemuruh tak karuan. Nayla hanya mengangguk.

Sudah tiga hari berlalu sejak kami jatuh dari jurang itu, kami masih tetap berada di daerah ini, belum pulang. Dengan keadaan yang cukup mengenaskan, pakaian lusuh, mata sembab, wajah tak karuan, jilbab kotor. Kami bersyukur, selama di sini tidak ada binatang buas yang menyerang kami. Kami makan seadanya, terkadang daun, dan terkadang buah yang cukup asing bagi kami. Tidak apa-apa kalian berfikir bahwa kami seperti orang utan , karna ya bagaimana lagi. Syukur kami bisa makan setelah satu setengah hari tak makan, karena kami sudah keluar dari jurang itu, bukan dengan naik tapi dengan menyusuri daerah lain jurang itu. Keadaan ini menjadikan kami semakin dekat, padahal dulu sama seperti musuh. Emang ya disetiap peristiwa pasti ada hikmahnya.

Selama di sini, kami tak pernah memperhatikan kebersihan badan, bahkan kami sama sekali tak salat, padahal itu adalah wajib. Namun bagaimana lagi, pakaian kotor, tempat kotor, dan tak ada sumber air bersih terdekat. Palingan ada, hanya genangan air hujan yang hanya cukup untuk di minum, ya karena terpaksa.

Genap empat hari kami di sini, keadaan masih tetap sama. Di sore ini, kami hanya duduk santai, dengan pikiran tak karuan. Namun tiba-tiba

Teringat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang