Part 1

4 6 2
                                    

Layaknya tokoh utama dalam pernovelan, begitulah penggambaran sosok Sagara Wilantara. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan kulitnya yang sedikit kecoklatan karena sengatan matahari. Tapi ada satu titik yang begitu menarik, mata tajamnya yang bisa membuat siapa saja terperangkap di dalamnya.

"Ganteng, tapi kalau bego ya sama aja," komentar Ghendis, perempuan dengan rambut hitam panjang yang dikepang layaknya princess Elsa.

"Maksud Lo?"

"Pemegang rengking 30 dari 30 siswa secara dua tahun berturut-turut, siapa yang tidak tau itu."

Varuna, gadis bermata kecoklatan dan rambut bergelombang itu memfokuskan pandangannya pada sosok pria yang duduk di sudut ruangan. Ia ingat perkataan guru di sekolah lamanya. Ada dua tipe murid yang akan dikenal, si pintar dan si bodoh, mungkin Sagara adalah tipe kedua.

"Lo jangan deket-deket dia deh Na, bahaya." Kali ini Kanaya yang angkat bicara. Gadis dengan rambut sebahu yang duduk di samping Varuna.

"Kenapa?"

"Lo tau kasus yang ada di sekolah ini dua tahun lalu?" Una menganggukkan kepalanya, kasus bunuh diri itu sempat menggemparkan dunia pendidikan mengingat si korban melakukan aksinya di lingkungan sekolah. "Dia pembunuhnya!"

"Tunggu, bukannya itu kasus bunuh diri, kenapa Sagara bisa jadi pembunuhnya?" Tanya Una bingung. Dua gadis di depannya sedikit merapat agar tidak ada yang mendengar cerita mereka, lebih tepatnya agar Sagara tidak mendengarnya.

"Setelah hasil otopsi keluar, penyebab kematian gadis itu adalah pukulan dikepalanya, baru setelah itu di gantung untuk meninggalkan jejak. Tapi sayangnya bangkai tetap lah bangkai, dan orang yang terakhir ada bersama Alin, adalah Sagara, pacarnya."

Kedua pupil kecoklatan milik Una melebar. Ia sedikit memundurkan tubuhnya yang tiba-tiba merinding mendengar cerita Naya. "Terus kenapa nggak diungkap? Dia kok nggak di hukum?"

"Bokap nya kepala kepolisian, ibunya adik dari pemilik perusahaan ternama di Indonesia. Mereka tentu saja menyuap media masa untuk tidak membocorkan hal itu dan terbebas dari hukuman karena jabatan bokapnya."

Una menoleh sekali lagi untuk melihat lelaki yang masih setia menatap halaman belakang sekolah melalui jendela disampingnya. Una tidak menyangka lelaki dengan wajah seperti itu tega melakukan hal yang begitu keji, bahkan Una tidak melihat gurat penyesalan di wajahnya. Una masih asik memandang Sagara ketika lelaki itu memutar kepalanya hingga mata keduanya bertemu pada satu garis lurus. Untuk seperkian detik Una terpana dengan mata tajam itu, seolah-olah ada benang merah yang membuatnya enggan untuk beranjak dari sana.

Sagara lah yang pertama kali memutuskan pandangannya. Lelaki itu mengalihkan wajahnya dan kembali fokus dengan titik yang sudah menjadi favorit baginya. Una mendengus lantas kembali memutar tubuhnya menghadap teman-temannya.

"Ke kantin yuk! Laper." Ghendis mengusap perutnya yang rata. Bel istirahat akan berbunyi lima menit lagi, tapi kelas mereka sudah setengahnya kosong. Jam pelajaran sebelumnya memang kosong karena guru yang bersangkutan sedang berhalangan hadir.

"Ayo!" Kanaya menggandeng lengan kedua sahabatnya dan berjalan bersisian menuju kantin sekolah.

🥀

Una belum terlalu hafal dengan tata letak sekolah ini, mengingat ia baru saja lima hari lalu pindah ke sini. Hanya ada empat tempat yang sudah ia hapal betul, kelasnya, ruang guru, kantin dan toilet. Selebihnya ia masih buta arah. Apalagi mengingat sekolah ini sangat luas, bisa-bisa Una tersesat jika nekat berjalan-jalan sendirian.

"Lo pesen apa Na?" tanya Naya sambil asik memilih menu makanan yang ada di kantin.

"Makannya samain aja, minumnya pop ice taro." Ada tiga hal yang begitu dicintai Una di hidupnya, taro, lavender dan lilac. Una menyukai apapun yang menyangkut tiga hal itu.

MemorabiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang