Sial
Una mengumpat kesal begitu melihat gerombolan lelaki yang memenuhi lorong di depan toilet. Sejauh ini hanya jalan itu yang Una tau untuk kembali ke kelasnya. Sedangkan Una tidak punya keberanian untuk melangkah maju.
Mau tidak mau akhirnya Una memutar langkah menyusuri lorong di belakangnya. Una tidak tau pasti tapi jalan ini lebih baik dari pada harus menyerahkan diri ke gerombolan kucing garang itu. Sialnya lagi, dia meninggalkan ponselnya di laci meja.
Langkah Una terhenti di ujung lorong. Bibirnya mengerucut sambil memperhatikan dua jalan di depannya. Kanan atau kiri? Una tidak tau. Ia menggerutu kesal sekali lagi. Kenapa tadi dia harus memutar langkah.
"Ahh.." Una mengacak poninya. Apa ia harus kembali ke jalan yang tadi? Mungkin saja gerombolan lelaki tadi sudah pergi.
"Sagara?" Baru saja Una ingin berbalik, ia tidak sengaja melihat Sagara di depan gudang sekolah. Lelaki itu tengah menyulut sebatang rokok dengan api dan menghisapnya perlahan. Entah perintah dari mana, Una membawa langkahnya menuju Sagara.
"Ngapain lo di sini?"
Una berhenti lima langkah sebelum mencapai Sagara. Lelaki itu menghunuskan tatapan tajam ke arah Una. Una menelan ludahnya, namun tetap melangkah mendekat.
"Emm, itu..gue lupa jalan ke kelas."
Sagara tak menanggapi, ia memilih menghisap rokoknya dalam-dalam lantas menghembuskan asapnya melalui mulut. Bodoh, itu yang ia umpatkan dalam hatinya.
"Gue baru empat hari di sini, gue belum hafal jalan," jelas Una.
Sagara menatap manik hitam gadis di depannya. Ia menarik napas panjang sebelum melempar rokoknya dan menginjaknya. "Ikut Gue!" Kemudian melangkah meninggalkan Una yang terdiam di tempatnya.
Sagara menghentikan langkahnya karena Una tak kunjung mengikutinya. "Lo bilang mau ke kelas, kan?"
Una buru-buru mengangguk dan mengikuti Sagara yang sudah berada dua meter di depannya. Kakinya yang tidak begitu panjang sedikit kesusahan mengejar Sagara. Una hanya bisa memendam kekesalannya selama mengikuti langkah Sagara hingga di pertigaan terakhir sebelum kelas mereka. "Sana!"
"Lo nggak masuk?" Una menyesali pertanyaannya begitu mendapat tatapan tajam Sagara. Tanpa menjawab apa pun, Sagara berbalik meninggalkan Una. "Makasih," teriak Una setelah Sagara berjarak sepuluh langkah darinya.
•
"Sagara, kemana anak itu?"
Siswa kelas XII IPA 2 yang tadinya ribut berubah hening begitu pertanyaan itu muncul dari Bu Lastri, guru sejarah yang sedang mengajar di kelas mereka. Mereka semua serentak melirik meja Sagara yang kosong, termasuk Una. Ia menggeleng, lelaki itu benar-benar tidak masuk kelas.
"Varuna Larasati?"
"Iya Bu?"
"Kalian kelompok terakhir. Silahkan kerjakan tugas kalian dan di kumpul sehari sebelum kelas kita Minggu depan."
Semua orang mengangguk paham kecuali Gendhis dan Kanaya. Dua gadis itu tentu saja tidak terima begitu Una disatukan dengan Sagara. Sedangkan Una hanya bisa pasrah. Kanaya lah orang pertama yang mengangkat tangan untuk protes.
"Bu, Varuna sekelompok sama saya saja Bu, Sagara sendiri saja, seperti biasanya."
Gendhis mengangguk setuju, "bener Bu. Kasihan Una, ujung-ujungnya nanti dia bakal ngerjain tugasnya sendiri. Mending bareng saya atau Kanaya saja Bu."
"Tidak ada protes. Varuna, itu tugas kamu biar Sagara mau ngerjain tugas kelompok ini."
Bu Lastri benar-benar tidak ingin mendengar bantahan apapun. Ia segera membereskan buku dan peralatan mengajarnya dan meninggalkan kelas begitu saja. Una menghembuskan napas pasrah, beberapa orang ikut menatapnya iba.
"Udah Na. Lo bareng kita aja, nanti di tugas itu nggak usah buat nama Sagara, dia juga nggak bakal mau ngerjain tugas itu." Una memandang Kanaya dengan ragu. Tapi bukankah ia sudah diberi amanah dari Bu Lastri untuk mengajak Sagara mengerjakan tugas ini. Mau tidak mau ya dia harus menjalankannya.
"It's okay. Gue bakal coba ajak dulu, kalau dia nggak mau, baru gue bareng lo," tolak Una halus. Kanaya maupun Gendhis tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka menghormati keputusan Una.
"Lo hati-hati ya, lo sendiri kan tau lelaki itu gimana, kalau dia ajak ke tempat yang aneh-aneh jangan mau. Kalau mau ngerjain tugas mending di rumah lo aja atau tempat yang rame gitu," peringat Gendhis.
"Iya, Bu," jawab Una.
•
Bel berbunyi panjang menandakan berakhirnya jam pelajaran hari ini. Semua orang mulai sibuk membereskan peralatan mereka. Kemudian bergegas meninggalkan kelas. Una masih diam di tempat duduknya. Menatap lurus pada bangku Sagara yang masih kosong. Lelaki itu membolos seharian ini, padahal Una tau betul ia berada di sekolah ini sejak tadi.
"Dia pasti di gudang," cetus Kanaya menarik perhatian Una pada gadis itu.
"Tepat hari ini, dua tahun yang lalu, jam tujuh pagi. Mayat Alin ditemukan menggantung di gedung sekolah. Seperti tahun lalu, Sagara akan berdiam diri di gedung, seolah-olah menanti Alin akan kembali dari balik pintu itu," lanjut Gendhis.
"Ngapain?"
Gendhis dan Kanaya sama-sama menggidikkan bahu. Una bangkit, berjalan menuju bangku Sagara. Menatap dari balik jendela yang langsung tertuju pada gedung sekolah, dimana lelaki itu kini masih duduk dengan sebatang rokok di mulutnya. Kini Una tau, kenapa Sagara suka sekali menatap lurus ke luar jendela.
"Lo ngerasa aneh nggak sih?" tanya Una setelah berpikir sejenak. Kanaya dan Gendhis menatap Una menunggu kelanjutan perkataan gadis itu. "Gue lihat, Sagara itu begitu kehilangan sosok Alin, jelas banget terlihat dimatanya."
Ya, Una mengingatnya. Bagaimana tatapan Sagara setiap kali memandang kebawah sana.
Kanaya dan Gendhis sama-sama terkesiap. Sepertinya mereka juga baru menyadari hal itu.
"Mungkin dia menyesal," jawab Kanaya yang entah sejak kapan sudah menyusul langkah Una, begitupun dengan Gendhis.
"Menyesal?" Una memutar tubuhnya, "kalau memang dia menyesal, harusnya dia serahin diri ke polisi, bukan malah seperti ini," tunjuk Una pada sosok Sagara di bawah sana.
"Jadi, menurut lo bukan Sagara pembunuhnya?" tanya Kanaya memastikan.
"Gue nggak bilang gitu, tapi gue yakin ada sesuatu," lirih Una. Entah apa yang kini menarik dari Sagara hingga Una enggan melepaskan tatapannya dari sosok itu. Hatinya berbisik yakin kalau lelaki itu tidak sepenuhnya bersalah.
Jadi pembunuhnya Sagara bukan?Kritik dan saran kalian di sini👇
Terima kasih
Sabtu, 22 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Memorabilia
Teen FictionVaruna tidak pernah berpikir sekalipun untuk mengungkit kasus kematian yang pernah terjadi di sekolah barunya. Tapi entah siapa yang memulai, Varuna harus terlibat langsung dengan si pembunuh. siapakah sosok pembunuh itu?