Mati? Kurasa Tidak.

376 32 0
                                    

Di sebuah ruangan serba putih, berbaring seorang pemuda yang tengah tidak sadarkan diri diatas ranjang. Ia memiliki perawakan tinggi dengan kulit seputih susu. Begitu bersih tanpa noda. Rupa pemuda tersebut sangat menarik. Alis tebal, hidung mancung, rahang kuat lalu bibir tipis. Sempurna, seakan dia diciptakan langsung oleh dewa dengan cinta di setiap inchi pahatannya.

Beberapa saat kemudian, alis itu tersentak. Dan tidak butuh tiga detik saat kelopak matanya perlahan terbuka. Sepasang iris merah berkilat menyapa dunia. Tajam, gelap dan pekat layaknya darah. Namun disaat bersamaan, menyajikan keindahan berbahaya.

Dipadukan dengan surai peraknya, membuatnya menjadi sosok aristokrat dengan pesona yang melawan surga.

Untuk sejenak, sorot mata itu terlihat kosong. Namun, begitu emosi menetes di tengah lautan merah itu, tubuhnya terlonjak hingga membuat posisinya yang semula berbaring kini terduduk. Matanya bergerak liar menelisik setiap sudut ruangan, keningnya mengernyit kala nuansa obat-obatan menusuk ke rongga hidungnya.

Aneh. Dimana ini? Otaknya bertanya-tanya. Sejauh yang dia ingat, dia sudah mati karena kecerobohannya sendiri. Matanya melebar, tangannya ia angkat untuk memastikan adanya bekas luka di bagian pergelangan tangan. Tapi, nihil. Disana bersih.

Pemuda itu tidak lain adalah Aslan. Disaat batin dan pikirannya bergelut, tiba-tiba saja tayangan berupa ingatan asing memborbardir otaknya. Dia meringis saat sakit kepala menyerang. Aslan mencoba untuk tenang dan menyelami ingatan yang baru saja diterimanya dengan hati-hati.

Dia tahu ada yang tidak beres sejak dia membuka mata. Dia seharusnya sudah kembali ke alam baka, bukan di rumah sakit. Tapi inilah kenyataannya, dia hidup. Namun bukan di tubuhnya, melainkan tubuh orang asing yang memiliki nama yang sama dengannya. Aslan. Callidus Aslan Lorenzo, sementara nama lama nya ialah Aslan Gavindra.

Namanya memang sama, tapi tidak dengan kehidupannya. Berdasarkan ingatan yang diterimanya, Callidus Aslan merupakan anak dari pengusaha terkenal yang kekayaannya Aslan yakin tidak habis tujuh turunan. Ayahnya merupakan pemilik perusahaan yang cabang dan koneksinya dimana-mana. Namanya, Abercio Franklin Lorenzo. Callidus Aslan memiliki tiga kakak laki-laki. Yang pertama, Sergio Ramos Lorenzo. Lelaki berusia 21 tahun, CEO perusahaan cabang milik sang ayah. Lalu Narendra Javier Lorenzo, kakak kedua Aslan yang tengah menjejakkan kakinya di jenjang pendidikan akhir menengah atas. Dia berusia 17 tahun. Dan yang terakhir, Callidus Zian Lorenzo. Kakak bungsu sekaligus kembaran Aslan. Zian lahir lima belas menit lebih awal dari Aslan, mereka sama-sama berusia 16 tahun.

Callidus Aslan, putra bungsu keluarga Lorenzo. Sifatnya pendiam, baik di luar maupun lingkungan keluarga. Saking pendiam nya, dia lebih dikenal pemalu. Di umurnya yang ke dua belas tahun, Aslan dibawa oleh Opa nya ke Amerika. Disana, selain menimba ilmu, dia diajarkan ilmu bela diri dan senjata oleh beliau sendiri. Alasannya simple sebenarnya, sang Opa hanya ingin Aslan bisa menjaga diri ditengah kejamnya dunia.

Kemana ibu mereka? Dia mati ditangan sang ayah, karena kepergok bermain api di belakangnya. Aslan yang diberitahu saat itu tidak memberi reaksi yang berlebihan. Sedih? Tentu tidak, karena pada dasarnya dia sama sekali tidak mengenal apapun tentang ibunya selain wajah dan namanya. Pun ketiga kakaknya sama.

Baik, kesampingkan semua ingatan itu untuk sementara waktu. Sekarang dan untuk seterusnya, dia akan menjadi seorang Callidus Aslan Lorenzo. Beruntung sifat Callidus Aslan itu dingin pada orang asing, namun hangat dan peduli terhadap orang yang dianggapnya pantas. Tidak jauh berbeda dengannya.

Aslan sedikit terkejut saat mendengar suara pintu yang dibuka, cepat-cepat dia menenangkan diri dan tidak lupa memperbaiki emosi di wajahnya. Tak lama sosok pria yang memiliki fitur wajah keriput dan beberapa helai rambut yang beruban masuk kedalam kamar. Sosok itu berjalan menghampiri Aslan, ekspresi yang terlukis di wajah keriputnya penuh kekhawatiran.

'itu pasti Opa.' duga Aslan sambil secara menganggukkan kepalanya.

"Gimana keadaanmu, Aslan?" Opa bertanya khawatir, meski wibawa tidak meninggalkan intonasi suaranya.

Aslan tersenyum tipis, "Aslan baik Opa." Lalu dia merasakan usapan lembut di kepalanya.

"Syukurlah. Penerbangan kamu sebaiknya diundur sam-"

"Enggak Opa. Aslan mau ke Indonesia sekarang." Aslan langsung memotong perkataan Opa. Dia tahu maksudnya.

Aslan yang dulu sudah berencana untuk kembali ke negara kelahirannya. Dan hari ini adalah jadwal penerbangannya, namun naas, kejadian tidak terduga menimpa Aslan. Saat dia hendak turun dari tangga, dengan tidak sengaja dia tersandung kakinya sendiri. Kejadian mengenaskan itu ditutup dengan tubuh Aslan yang berguling-guling dan berhenti di anak tangga terakhir. Sudah pasti jika Callidus Aslan sudah mati, karena jika tidak, Aslan Gavindra tidak akan berada disini.

"Tapi kesehatanmu-" lagi-lagi Aslan menyela, "Aslan udah sembuh Opa. Dan Aslan pengen ketemu sama Zian."

Pada akhirnya, Opa mengalah terhadap sifat keras kepala Aslan. Beliau segera mengurus surat keterangan dokter agar Aslan diperbolehkan untuk pulang.

Dan dalam tiga jam selanjutnya, Aslan sudah berada di bandara bersama sang Opa. Aslan berbalik untuk memeluk singkat Opa nya.

"Aslan berangkat, Opa jaga kesehatan. Jangan lakuin hal-hal yang merepotkan." Petuah Aslan sambil memegang bahu Opa.

Ah, satu lagi fakta tentang Callidus Aslan. Dia memiliki tinggi yang tidak wajar untuk remaja seusianya. Tingginya mendekati dua meter, hanya sedikit lebih tinggi dari Opa nya. Itu berkat semua pelatihannya. Ini masih 16 tahun, bagaimana pertumbuhannya dalam empat tahun kedepan?

"Heh, kamu pikir kamu sedang bicara dengan siapa?" Aslan tersenyum sembari menggeleng mendengar jawaban angkuh dari pria yang lebih tua.

Aslan menipiskan jaraknya dengan Opa lalu mengecup dahinya, "Aslan pergi." Bersamaan dengan itu, suara peringatan menggema. Aslan berjalan menjauh dengan tangan melambai, sementara tangan yang lain menggeret koper.

Di dalam pesawat, Aslan tersenyum lebar. Saking lebarnya hingga nyerempet ke seringai gembira.

Jika dihitung, sudah 4 tahun berlalu. Dia tidak sabar melihat mereka.

-•||•||•||•-

[Lorenzo's Family:
Lorenzo Zafian Dexter.
Abercio Franklin Lorenzo.
Sergio Ramos Lorenzo.
Narendra Javier Lorenzo.
Callidus Zian Lorenzo.
Callidus Aslan Lorenzo.]

Cerita baru, lagi.
Hehe ... ahem.

Aslan's TransmigrationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang