Sentuh, Mati.

256 25 5
                                    

"Uhuk."
.
.
.

Baik Aslan maupun Zian sama-sama terinterupsi oleh suara itu. Bedanya, Zian yang mulai bergerak tidak nyaman dengan rona merah yang meledak di pipinya, karena tau para sahabatnya kini tengah memandangnya rumit. Sementara Aslan hanya membuka sebelah matanya yang semula terpejam menikmati aroma tubuh kembarannya.

Berpura-pura tidak menyadari ketidaknyamanan yang dialami Zian, dia beralih menghadap kearah tiga pemuda lainnya.

"Oh! Maaf, kenalin, gue Callidus Aslan Lorenzo. Adik sekaligus kembaran Zian. Salken!" Pemuda pemilik iris mata merah itu memperkenalkan diri, tak lupa menyertakan senyuman sejuta watt nya yang selalu berhasil menembus hati semua orang.

Terbukti dari reaksi yang diterimanya. Dua dari mereka nampak blushing berat. Sementara yang satunya lagi, meski tidak ada ekspresi yang hadir di wajahnya, mata elang Aslan bisa melihat telinganya yang memerah.

Lantas, ia terkekeh dan membatin.

'imut anjir!'

"Jadi, kalian temennya Zian?" Tanyanya setelah itu, kini dagunya Aslan tempatkan di bahu sempit kakaknya.

Ketiganya mengangguk serentak. Pemuda berwajah bulat dan berambut hitam disana berkata,

"G-gue Edwin Affandra, biasa dipanggil Edwin." Ah, jadi itu. Namanya Edwin. Dilihatnya Edwin lekat-lekat sebelum menganggukkan kepalanya, dan untuk alasan yang tidak diketahui, pipi Edwin kembali memerah.y

Mata Aslan bergeser, pemuda yang memiliki mata hazel bulat kini menjadi perhatiannya. Mereka menatapnya, dengan poni yang hampir menyentuh kelopak mata.

Ugh, Aslan menggigit bagian dalam bibirnya.

"Eh- ah, ka-kalo gue Thomas Gale Lucano. T-terserah mau panggil apa." Thomas. Pemuda itu memutus kontak mata dan berusaha mencari kesibukan lain. Apapun itu asal tidak menatap mata merah yang seakan menelanjangi jiwanya.

Dari tempatnya, Aslan tertawa lirih. Sangat lirih hingga hanya bisa didengar oleh Zian yang seketika membuat bulu kuduknya meremang.

"Ravindra Xaquille Miles. Ravi." Nah, dari ketiganya, mungkin hanya pemuda bernama Ravi ini yang wajahnya tidak menunjukkan reaksi berlebih. Bahkan mata orang normal akan menyimpulkan tidak adanya ekspresi disana. Tapi ini Aslan yang dibicarakan. Aslan bisa menangkap adanya emosi, bukan di wajah tapi mata.

Dari sana Aslan bisa menyimpulkan satu hal. Ravi gugup. Aww, dan itu menggemaskan. Aslan di kehidupan sebelumnya sangat menyukai hal-hal yang imut dan lucu, wajar bila saat ini ia merasa batinnya bergejolak. Zian dan tiga temannya itu sama-sama menggemaskan. Mengharuskannya untuk berpura-pura batuk agar emosi nya tidak keluar.

Di sisi lain, Thomas yang mengira Aslan batuk sungguhan refleks menyodorkan botol air yang tersisa setengah. Apa yang terjadi selanjutnya membuat lelaki berponi itu sukses melebarkan mata. Aslan tanpa sungkan langsung menerima botol air tersebut dan segera meminumnya. Dengan bibir sexy Aslan menyentuh mulut botol itu.

"Makasih" ucapnya kemudian setelah meletakkan botol air di meja.

Thomas tidak sempat mencegah darahnya untuk berkumpul di pipinya. Bukannya itu berarti ciuman tidak langsung?

'enggak enggak, gak boleh baper Thomas! Lo itu lurus, selurus jalan tol. Nih jantung juga kenapa si, dag dig dug mulu prasaan.'

Tidak tau saja Thomas, bahwa ada seseorang yang kini tengah menatapnya sambil menyipitkan matanya.

"Oy, dah habis ini. Turunin gue sekarang!" Suara itu berasal dari remaja yang berada di pangkuannya. Yang jujur saja, dihiraukan oleh sang adik.

Aslan's TransmigrationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang