CHAPTER THREE: July 6, 2018.

1.2K 94 59
                                    

As it turned out, worrying over something in present time about something in the future is useless.

Naura menghabiskan perjalanan pulangnya dengan memikirkan Naraja yang akan mengambil kembali janjinya tentang mampir ke rumahnya sore ini setelah insiden yang terjadi di lobi sekolah, pukul tiga sore hari itu. Di tengah lampu merah sambil mobilnya berhenti, Naura mengubur wajahnya ke dalam kedua telapak tangannya, membenturkan dirinya ke setir mobil. Pikirannya mengembara ke kejadian tadi.

Tur sekolah ala Naura untuk Shaquille sudah berakhir sejak jam makan siang selesai, karena mereka sudah mengelilingi semua gedung yang ada; gedung SMA, kantin, lapangan bola, laboratorium sains, semua fasilitas di gedung utama Multi Purpose Hall dan fasilitas di gedung Music and Arts Hall. Seperti biasa, hari class meeting memungkinkan murid untuk pulang cepat, jadi pada pukul satu siang lobi sekolah sudah dipenuhi murid-murid. Naura, Ray, dan Shaquille adalah tiga dari sekian banyak orang di situ. Ray menduduki salah satu kursi yang ada, sedangkan Shaquille dan Naura harus berdiri karena dua kursi tunggu di sampingnya sudah dipenuhi murid kelas sebelas yang tiba lebih dahulu.

"Lo dijemput, Ray?" tanya Naura. Jadwal jemput temannya memang sering kali tidak jelas, kadang ia meminta Naura untuk mengantarnya

"Iya," jawab Ray sambil sibuk memainkan handphone-nya. Naura yakin gadis itu sedang mencari keberadaan Ean dan mengingatkannya untuk tidak merokok. "Sopir gue lagi gak ada kerjaan, katanya sih udah dekat."

"Nggak ke Bi Emih dulu?" Naura menyarankannya, sudah biasa dengan rutinitas itu. Kemudian, sebuah ide muncul di kepalanya. Ia menoleh ke Shaquille. "Hey, on that note, Warung Bi Emih counts as the part of the school. You should check it out."

Shaquille terdengar tertarik. Sejak pagi, laki-laki itu tidak meninggalkan sisi Naura. "Ada apaan?"

"Asap rokok," celetuk Ray, masih sambil menunduk sibuk mengetik di layar handphone-nya.

Laki-laki itu tertawa, tapi tawanya sontak terhenti ketika murid kelas sebelas yang duduk di samping Ray berdiri. Shaquille mengisyaratkan bagi Naura untuk cepat-cepat mengambil tempat tersebut, sebelum murid lain mendudukinya. "Oh, nggak, deh. Gue nggak merokok."

Hal itu menarik perhatian kedua gadis yang duduk di depannya. "What?"

"What?" tanya Shaquille, kebingungan dengan reaksi kedua teman barunya.

"Lo nggak merokok?" Ray memastikan dengan nada tidak percaya. "Like, ever?"

Laki-laki di depan mereka terlihat berpikir sejenak. "Udah pernah coba. Gue gak suka."

Ray menghela napasnya. "Kenapa gue dari kelas sepuluh, ya? Harusnya gue tunggu aja Shaquille Aneira datang ke hidup gue."

Naura dan Shaquille menertawakan gadis itu.

"Eh, rumah lo di mana, Shaq?"

"Di... mana, ya? Gue tinggal di apartemen," katanya, menggaruk bagian belakang tengkuknya kebingungan. "Di Kemang. Kemang Mansion."

"Hah? Serius?" Jawaban itu membuat Naura kegirangan. "Dekat sama Wijaya?"

Shaquille tidak tahu apa jawaban yang harus ia berikan kepada Naura, jadi dipandangnya gadis itu dengan pandangan kosong.

Kemudian, Naura menyadari kesalahannya. "Oh. Right. Apartemen lo dekat sama rumah gue. Rumah gue di Wijaya. Terus, lo dijemput?" tanya Naura, kali ini dengan nada tenang. "Atau gimana?"

"Enggak," tangan laki-laki itu merogoh ke dalam saku celana seragam belakangnya, mengeluarkan kunci mobil. "Gue nyetir."

Naura melonjak berdiri dari kursinya, menarik kunci mobil yang tadi menggantung di jari telunjuk Shaquille. "Look, Ray, we scored us a driver!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang