CHAPTER ONE: June 20, 2018.

4.8K 453 498
                                    

Pernah ada salah satu guru dari sekian banyaknya tenaga pengajar di sekolah Naura berkata, "Sekolah itu rumah kedua kamu."

Naura percaya itu. Logikanya, selama masa sekolah, seorang murid menghabiskan seperempat dari dua puluh empat jam waktunya dalam satu hari di sekolah. Jadi, Naura, gadis cantik yang sekarang akan memasuki tahun terakhirnya di masa SMA, mencoba menikmati delapan jamnya di sekolah dengan semaksimal mungkin, memanfaatkan itu untuk mencari banyak teman, menimba ilmu dengan bertanggung jawab, dan mencari pengalaman untuk bekal tahap hidup selanjutnya—yang semakin ia coba untuk tidak pikirkan, semakin menekan. Realitasnya, dalam kurun waktu beberapa minggu, ia akan menjadi murid kelas dua belas, kelas terakhir di SMA. Tidak banyak waktu yang tersisa sebelum ia harus menerima kenyataan bahwa ada hal baru yang ia harus hadapi. So, Naura tries to make the best of the time she has left on her second home.

Lucunya Naura mengenal seseorang yang mengambil perumpamaan 'rumah kedua' ini dengan sangat serius, mungkin terlalu serius. Naura paham alasannya. Ia mengerti betul kenapa. Tapi, kadang, melihat orang tersebut menahan diri untuk tidak pulang ke rumahnya, rumah aslinya yang ia tinggali bersama kedua orang tuanya, membuat Naura prihatin.

Namanya Naraja. Naraja Gala Maharadika, tapi Naura memilih memanggilnya dengan panggilan berbeda, yaitu Nara. Nama panggilan itu bukan sesuatu yang spesial—semua teman SMP Naraja memanggilnya dengan nama tersebut. Namun, entah apa yang membuat Naura memilih tetap menggunakan nama itu saat semua orang lain di SMA-nya memanggil laki-laki itu dengan sebutan Naraja. Di hati kecil gadis itu, ia tahu mengapa. Nara dan Naraja, baginya seperti dua orang berbeda. Naura hanya mencoba menutup mata akan kenyataan itu.

Naraja dan dirinya punya kebiasaan aneh yang sudah jadi hal lumrah di antara mereka. Tidak jarang, Naraja memintanya untuk menghabiskan waktu di ruang teater sekolah mereka, entah apa tujuannya. Kadang, mereka hanya menghabiskan waktu berbincang tentang hal tidak penting. Terkadang pula, Naura hanya menemani dalam diam, Naraja perlahan tertidur karena lelah, menggantikan tidur yang tidak bisa ia dapat di rumahnya sendiri.

Naura masih ingat hari terakhirnya di kelas sebelas, sebelum libur panjang kenaikan kelas tiba. Pikirannya mengingat lagi kilas balik itu.

"Nar?" panggilnya, membuka perlahan pintu ruang teater. Tidak banyak yang bisa dilihat dalam ruangan sepuluh kali sepuluh meter tersebut. Di tiga sisi, dindingnya dilapisi cermin dari lantai hingga ke langit-langit. Di sisi lain, hanya tembok yang dicat hitam dan panggung kecil. Di atas panggung tersebut ada satu sofa sebagai properti teater, cukup untuk tiga orang. Di situ, duduk laki-laki yang sedang memainkan handphone-nya. Seragam laki-laki itu tidak berantakan, tapi tidak juga rapih sesuai standar sekolah. Yang jelas, Naura tahu rambutnya melanggar peraturan, tapi karena senyum begitu manis yang laki-laki itu bisa berikan, guru pun dibuat lemah olehnya. Naura tersenyum ketika mereka berpandangan. "Hai."

Naraja membalas sapaannya dengan senyum, tidak mengucapkan kata-kata. Ditepuknya tempat kosong di sampingnya, mengisyaratkan pada Naura untuk ikut duduk. Setelah Naura duduk di sampingnya, ia meletakkan handphone-nya.

"Kenapa?" Naura bertanya, walaupun ia tahu tidak ada alasan tertentu mengapa Naraja memintanya datang ke ruangan itu. "Eh, kira-kira, kelas dua belas nanti, kita sekelas nggak, ya?"

Pertanyaan yang tiba-tiba itu tidak segera dijawab Naraja. Ia memikirkan jawabannya sejenak sebelum mengedikkan bahunya.

Naraja bukan seorang pribadi yang pendiam, Naura tahu itu. Ia sering melihat interaksi Naraja dengan teman-temannya yang lain. Namun, bersama Naura, ia memilih untuk diam dan membiarkan Naura menentukan arah pembicaraan. "Enggak, ya? Udah dua tahun ini nggak sekelas juga, sih. Mungkin karena nama kita awalnya sama, jadi pas rolling kelas enggak bisa barengan."

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang