CHAPTER TWO: July 5, 2018.

1.5K 155 89
                                    

Ghaisani Raya adalah orang paling bawel yang Naura kenal.

Selalu ada saja yang harus dikomentari oleh gadis itu, tidak pernah puas akan apa yang ada di sekitarnya. Dalam kebanyakan situasi, Naura tidak masalah akan hal tersebut. Naura bukan orang paling jujur yang pernah ada di muka bumi. Ia banyak memendam ketidaksukaannya terhadap sesuatu kalau seandainya ia menganggap hal itu hanya akan membuang waktu jika ia memicu konflik dalam hal yang bisa dihindari. Tapi, di situ lah Ray bertindak. Temannya akan menyatakan apa yang ia rasakan, tanpa berpikir dua kali, tanpa mempertimbangkan risikonya. Walau kadang hal itu menyebabkan keributan yang bisa saja dihindari, Naura tidak menyangkal sifat Ray yang satu itu sangat membantunya menghadapi orang-orang di sekitar mereka berdua.

Hanya saja, kadang ia berharap sifat tersebut tidak tertuju pada semua hal, termasuk hal sepele. Buktinya saat ini, ketika Ray sudah berjalan cepat mendahuluinya dengan tangan mengepal juga wajah yang selayaknya singa kelaparan siap untuk menerkam mangsa.

"Biarin aja, Ray." Naura menarik pergelangan tangan temannya. "Udah biasa."

"Justru lo tuh nggak boleh biasa sama hal kayak gitu, Naur!" Suara tingginya bisa terdengar di koridor sekolah mereka. Hari ini hari pertama masuk sekolah sebagai kelas dua belas, tapi sudah ada masalah yang harus mereka hadapi.

Permasalahannya sepele—atau setidaknya, itu hal sepele bagi Naura. Adik kelas mereka membuat candaan kecil tentang Naura mendekati pacarnya yang adalah teman sekelas Naura. Naura mencoba mengerti mungkin adik kelasnya itu hanya cemburu, tapi Ray tidak terima akan perlakuannya. Alasannya? 'Dia nggak tau aja, lo hopeless romantic.'

Naura memutar kedua bola matanya, masih mencoba menarik Ray menjauh dari kantin sekolah mereka. "Lo kan udah tau itu nggak benar, ngapain masih dipermasalahkan?"

"Ya karena itu nggak benar!" Ray masih bersikeras akan alasannya, meskipun kali ini ia sudah berhenti melawan tarikan tangan Naura, berjalan berdampingan ke arah gedung SMA. "Gue harus meluruskan."

"Lo mau ngapain?" tanya Naura. "Bilang ke dia 'Dik, teman gue nggak mungkin naksir sama pacar lo, dia sukanya sama orang yang nggak suka sama dia', gitu?"

Ray melempar Naura senyum tidak bersalahnya. "Yeah, exactly that."

Sebelum Naura bisa melempar stik es krimnya yang sudah habis ke temannya itu, Ray duluan berlari meninggalkannya menaiki tangga. Naura berniat mempercepat langkahnya untuk menyusul gadis tersebut, tapi langkah keduanya terhenti ketika melihat siapa yang tengah menuruni tangga.

Ean dan gerombolan temannya, yang dilihat dari sudut pandang Ray, sedangkan Naura hanya tertuju pada satu laki-laki di antara banyaknya manusia di sana, Naraja.

Kemarahan Ray hilang sepenuhnya, digantikan senyum lebar dan tawa kencang saat Ean menceritakannya tentang kebodohan apa yang terjadi pagi itu di kelasnya. Tidak seperti kelas sebelas saat Ean, Ray, dan Naura berada di kelas yang sama, kedua pasangan itu tahun ini terpisah.

Naura yang bingung harus melakukan apa sambil berdiri di belakang Ray yang sibuk mengobrol pun memutuskan untuk mengeluarkan handphone dari saku rok seragamnya, mencoba mencari kesibukan. Apa pun selain harus membangun pembicaraan dengan teman-teman Ean, terutama Naraja. Bukannya gadis itu tidak mau, justru ia berharap Naraja akan mencoba membentuk pembicaraan antara mereka, tapi setelah dua tahun mengenalnya, Naura tahu lebih baik untuk tidak mengharapkan hal yang tidak mungkin. Ia tidak mengerti apa alasannya, tapi jika itu yang dipilih Naraja, maka Naura hanya menurutinya saja.

"Naur," panggil seseorang, membuat gadis itu mengalihkan pandangannya. Ada harapan kecil panggilan itu datang dari Naraja, tapi Naura tidak memberi reaksi kecewa bahkan ketika ia sadar yang memanggilnya adalah Jevano. "Nanti kan round kedua lomba basket kelas kita lawan kelas Ean, kira-kira siapa yang menang?"

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang