Kontrakan Mantab Pak Burhamah

486 69 15
                                    

Bapak Burhamah sekeluarga memang tidak kaya, namun cukup untuk makan dan hidup seadanya.

Bapak selalu ingatkan bahwa "Tetaplah tinggi tanpa harus menjulang, tetaplah merendah tanpa harus menyentuh tanah." Bapak berujar seraya melinting rokok tembakau miliknya. "Maksud e pripun pak?"  (Maksudnya gimana Pak?) Mas Gibran yang bertanya sembari menemani sore hari Bapak dengan kepulan kopi hitam.

"Maksud e, yen sampeyan rumangsa due ojo gedhe-gedhe. Yen sampeyan lagi susah, ojo ngeroso paling susah..." (Maksudnya, kalau kamu sudah merasa punya jangan sombong. Jika kamu lagi susah, jangan merasa paling susah...)

"Ing dunyo iki kabeh ana dalane dewe, tergantung piye carane awake dewe bersyukur lan menikmati hidup!" (Di dunia ini semua sudah memiliki jalannya masing-masing, tergantung bagaimana cara kita bersyukur dan menikmati hidup!) sambungnya seraya menyesap perlahan rokoknya.

Selama ini, pendidikan Mas Gibran dan Renjana adalah hasil kerja keras Ibuk yang jualan kue, juga uang hasil sewa kontrakan milik Bapak.

Alhamdulillah hampir setiap harinya Ibuk mendapat orderan kue dari tetangga, Ibu-ibu PKK, dan juga beberapa tetangga yang tengah mengadakan hajatan atau sedang ada arisan di rumahnya. Masih belum terhitung pelanggan yang ngiler melihat sosial media yang sengaja Renjana buatkan untuk lapak jualannya Ibuk.

Kuotanya masih terbatas di daerah Jogja saja, terutama yang terdekat. Untuk yang di luar Jogja, harap bersabar dahulu ya, karena Ibuk mengerjakan semuanya seorang diri, sebab beliau enggan untuk dibantu.

Kontrakan Bapak.

Seperti yang sudah dibahas, kalau Bapak punya kontrakan yang tengah di sewakan dengan harga yang ramah di kantong. Berjumlah enam petak dan InsyaAllah akan bertambah lagi. Lucunya, semua penyewa adalah remaja Putra. Jadi mirip pesantren.

Bapak sudah menganggap mereka seperti cucunya sendiri. Oleh karena itu, Mas Raden menamai kontrakan Bapak dengan sebutan, "Kontrakan Mantab Pak Burhamah." Walau Bapak tidak pernah melarang atau memberi aturan ketat, bukan berarti mereka boleh mantab-mantab.

"Le, Gibran..." panggil Bapak ketika Mas Gibran asyik menonton kartun Teletubbies sore itu.

"Iya pak?" sahutnya seraya menghampiri Bapak.

"Itu si Pangestu, wis beberapa hari iki jarang kelihatan." Bapak menyebut salah satu nama anak yang menyewa kontrakan.

"Jafar pak?" tanya Mas Gibran yang seolah membenarkan panggilan Bapak. 

Bapak suka memanggilnya seperti itu sejak dulu, sebab arti nama Pangestu yang indah. Keberkahan dan restu, Bapak suka anak itu.

"Iya si bungsu, takutnya yen bocahe sakit gak ada sing ngobati..." Bapak memang begitu, anak-anak tidak ikut sholat magrib saja dicariin. Sudah seperti ayam kehilangan satu anaknya.

"Rea ikut ya Mas?!" Renjana menyahuti seraya berjalan menghampiri Mas Gibran dan Bapak, yang tengah duduk di emperan rumah, hanya dengan sarung dan kaus dalam yang Bapak kenakan.

"Ndak usah." dengusnya kala mengetahui niat terselubung sang  Adik.

"Sekalian ke Indomaret Mas!" Renjana mendesak Mas Gibran.

"Halaah, mau ke Indomaret apa mau ketemu Nak Seno?" Bapak menggoda Renjana dengan tawa renyah khas Bapak-bapak. Tangannya mulai meracik tembakau untuk di sesapnya. "Wis ajak'en Adikmu, biar seneng ketemu sama Nak Seno." lanjutnya yang masih sibuk melinting rokok.

"Ya sudah, ayo!" dengusan sebal bagai hidung naga yang berasap.

"Makasih Pak, Rea sama Mas Gibran berangkat dulu..."

Jogja Asmaraloka | Na Jaemin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang