Pintu kamar terbuka dengan sedikit paksaan, lalu keluarlah dua orang anak kembar yang berkejar-kejaran sembari menuruni tangga. Keduanya mengenakan seragam putih abu-abu, dengan ransel yang sudah mereka jinjing dipunggung.Atsumu berlari lebih dulu, kemudian ia berhenti begitu mendengar suara orangtuanya dari teras. Seperti hendak menelepon seseorang, namun berkalimat dengan sangat mesra. Atsumu menoleh, bersamaan dengan Osamu yang baru saja sampai dengan kedua kotak bekal ditangannya.
Mamah ada dirumah terus itu papah nelepon siapa?, pikir Atsumu.
Tepat sebelum Atsumu berbalik kedalam rumah, Osamu mendorongnya kecil- sampai keduanya berada tepat di teras sekarang. Papah yang melihat kedua putranya tengah sibuk bercanda, mulai mematikan teleponnya kemudian mengajak Atsumu dan Osamu untuk segera berangkat ke sekolah.
"Pah, tadi..."
"Pah, tau nggak? Atsumu nyusruk nabrak tiang waktu mapel olahraga kemaren. Kebangetan tebar pesona sama cewek-cewek gitu tuh." Sambar Osamu. Membuat Atsumu sedikit geram karena Osamu baru saja menyela pembicaraan yang ingin ia mulai dengan Papah.
Mendengar apa yang dikatakan Osamu, Papah tertawa kecil- sembari melirik-lirik dari kaca spion yang ada ditengah paling depan. Papah mengarahkan kaca tersebut agar ia bisa lebih leluasa melihat Atsumu.
"Wah, iya.. liat tuh jidat nya pake plester. Hahahaha..." Papah tertawa lepas.
Atsumu semakin menurunkan poni rambutnya, agar plester yang ada pada dahinya tertutup dengan sempurna. Padahal ini masih pagi, tapi dua orang anggota keluarga Atsumu malah sibuk mencibir atas kejadian memalukan yang ia alami.
--
"Samu?" Panggil Atsumu sembari melongok kedalam toilet pria. Namun ia tak menemukan keberadaan adiknya disana.
Jam pelajaran telah Usai, tapi Atsumu tak menemukan Osamu dimanapun. Mulai dari toilet lantai satu sampai empat, Gedung oleh raga, sampai ruang kelasnya. Ah, ya.. Atsumu dan Osamu berada dalam kelas yang berbeda. Osamu mengisi kelas 3 IPA 1, sementara Atsumu 3 IPS 1. Keduanya memiliki peringkat yang seimbang, walaupun dalam jurusan yang berbeda.
"Bokap Lo kan dokter, masa anaknya gapunya duit?!" Teriakan itu terdengar dari arah taman belakang. Letaknya tepat beberapa kaki disebelah kanan dari tempat Atsumu berdiri. Suasana sekolah yang mulai sepi membuat suara orang-orang itu semakin terdengar nyaring ditelinga Atsumu. Kemudian, Nalurinya mendorong kedua kaki Atsumu untuk segera berlari ke sumber suara.
Benar saja, Osamu sedang dirundung oleh sekawanan berandal sekolah itu. Tak terima, Atsumu melempar tas ranselnya dan berhasil mengenai kepala dua orang yang berdiri tepat didepan Osamu. Sementara Osamu sedang terduduk ditanah, seragamnya berantakan sekali.
Atsumu menganbil ancang-ancang, kemudian berlari untuk meninju orang ketiga yang ada disebelah kanan. Setelah ditinju, ia menariknya- melempar kearah kiri hingga orang tersebut menabrak temannya yang baru saja bangkit.
"Sam, gak ada waktu. Cepetan Lo kabur!" Atsumu menarik Osamu dengan paksa, mendorongnya kearah lorong tempat Atsumu datang. Setelahnya perkelahian masih terus berlanjut. Tiga lawan satu bukanlah masalah bagi Atsumu, hanya saja- seorang diantara mereka berhasil menyerang punggung Atsumu dengan pot bunga.
Melihat situasi yang tak dapat ia atasi, Osamu memilih untuk lari- atau lebih tepatnya memanggil orang dewasa yang masih tinggal di ruangan guru.
--
PLAKK!!
"Puas tonjok-tonjokannya? Hah?!" Omel Papah begitu Atsumu dan Osamu tiba dirumah. Wajah Atsumu bukan hanya terluka oleh pukulan-pukulan dari ketiga siswa disekolah, Papah juga menambahkan pukulan telak sebanyak dua kali. Hal itu membuat pipi kanan Atsumu benar-benar bengkak.
Meskipun Guru Bimbingan Konseling sudah menjelaskan kejadian secara detail- Papah hanya mengangguk-angguk indah selama disana. Berbeda situasinya ketika sampai dirumah. Bagi papah, perilaku Atsumu sangat memalukan- karena malah terjun kedalam perkelahian daripada kabur dari tempat itu.
"Atsumu! Denger papah nggak?" Bentak Papah sekali lagi.
"Nggak!" Jawab Atsumu dengan lantang. Ia menghentakkan kakinya sekali ke lantai, tanda bahwa dirinya benar-benar marah atas respon Papah kepadanya. "Osamu dirundung, Pah! Papah mikir gak sih?!" Kata Atsumu sembari menunjuk-nunjuk pelipisnya, atau mungkin yang dimaksud adalah otak.
"Kamu yang harusnya mikir!" Balas Papah yang langsung mendorong dahi Atsumu dengan jemarinya. "Apa kata orang-orang kalo murid terpandang terlibat perkelahian cuma gara-gara hal konyol?!" Setelah kalimat itu terlontar, Atsumu sadar bahwa yang ada dipikiran papah hanyalah perihal kedudukan. Tak sedikitpun Papah berpikir bahwa Osamu bisa saja mati ditempat apabila kejadian seperti itu terus terjadi.
"Gila." Ejek Atsumu. Tangannya langsung menarik Osamu untuk naik dan masuk kedalam kamar. Keduanya mengabaikan teriakkan yang keluar dari bibir orangtuanya.
Mama? Beliau sedang tidak dirumah. Entah kemana ia pergi selama seminggu terakhir.
--
Uang saku Atsumu dipotong atas perlakuannya dua hari yang lalu. Karena itu, sekarang ia berdiri tepat dipusat kota- mencari-cari informasi mengenai kerja paruh waktu. Atsumu ingin membuktikan, bahwa dirinya bisa melakukan apapun tanpa bantuan Papahnya. Lagipula sekolah di SMA Negeri sangatlah menguntungkan baginya. Tidak ada uang gedung, SPP tiap bulan, maupun studytour yang memakan banyak biaya. Untuk pertama kalinya, Atsumu benar-benar bersyukur karena ia bersungguh-sungguh ketika mengerjakan ujian akhir saat SMP.
"Nggak terima anak SMA, ya. Baik, terimakasih." Ucap Atsumu setelah selesai berbincang-bincang dengan pemilik kedai Mie Gacoan. Pada poster yang ia temui di Mading kota, hanya tertulis bahwa pelamar harus berusia tujuh belas tahun. Sayangnya, lowongan tersebut membutuhkan pekerja yang siap bekerja full time. Atsumu tidak bisa mendapatkannya karena masih harus pergi ke sekolah.
Merasa lelah, Atsumu memutuskan untuk singgah disalah satu cafe. Ia memesan Ice coffee latte, kemudian mengambil tempat duduk paling sudut. Ia tidak ingin suara orang-orang yang sedang berbincang menganggu telinganya. Bahkan, Atsumu duduk mengarah ke dinding. Ia juga tidak ingin bertemu siapapun sekarang.
"Anakmu perempuan? Aku mau ketemu dong.." Suara itu terdengar sepuluh menit setelah Atsumu menetap disana. Karena tidak enak jika menoleh, Atsumu hanya memperkirakan bahwa orang tersebut duduk tak jauh dibelakangnya.
"Iya, aku punya 3 anak perempuan. Sayangnya istriku meninggal dunia, dua bulan yang lalu." Jawab seorang pria. Suaranya parau, namun Atsumu mendapati hal yang tidak beres dari percakapan tersebut.
"Kalau gitu, kita nikah aja mas. Aku kesel sama suamiku, dia nggak mau punya anak lagi. Padahal aku mau cewek." Keluh sang wanita yang hampir saja membuat Atsumu tertawa. Tapi didetik selanjutnya, ia sadar bahwa dua orang dibelakangnya adalah seorang wanita yang sedang berkencan dengan selingkuhannya.
Suna betah kalo liat ginian, nih. batin Atsumu. Ia langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Suna Rintaro, Siswa terupdate dari kelas 3 IPA 2.
"Anakmu cowok, kembar, kan?" Pertanyaan laki-laki itu menghentikan gerakan tangan Atsumu. Tanpa berpikir panjang lagi, Atsumu segera menelepon seseorang, namun ia mematikan mikrofonnya. Keringatnya bercucuran. Atsumu masih berharap bahwa asumsinya salah, tapi nyatanya- ponsel wanita itu berdering, lalu ia berkata bahwa putera tertuanya menelepon. Kemudian meminta pria itu untuk diam.
"Halo, Tsumu..?" Perasaan Atsumu benar-benar hancur didetik itu juga. Ia mematikan teleponnya, berusaha menahan diri untuk tidak menangis.
Selama hidupnya, Atsumu memang tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun. Jadi siapapun akan berpikir bahwa Atsumu tidak akan merasakan sakit hati. Tapi, nyatanya- seorang ibu, atau Mamanya sendirilah yang pertama menghancurkan hatinya. Dari perbincangan yang ia dengar, Mama seolah tidak menginginkan anak laki-laki. Pantas saja, baik Atsumu maupun Osamu tidak pernah bisa menjalin hubungan lebih jauh dengan Mamanya itu.
Masih dengan perasaannya yang hancur, Atsumu mengendap-endap untuk mengabadikan moment yang menyakitkan batinnya itu. Kemudian, ia mengirimkannya kepada Osamu.
.
.
.
.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNTUH - Miya Twins [ END ] ✓
Fanfickehidupan yang bahagia merupakan impian dari kebanyakan orang. Sayangnya, Si kembar Miya tidak memiliki kehidupan impian itu- hampir sepanjang hidupnya. Selalu ada pertengkaran, perdebatan, kehilangan, sampai kehancuran disetiap harinya. Atsumu lela...