Broken

7 1 0
                                    

Hawa dingin berhasil menembus sweater rajut berwarna coklat yang dikenakan oleh Tishya. Jalanan sudah mulai sepi. Kendaraaan yang berlalu lalang berangsur sedikit meskipun jika dibandingkan dengan suasana pedesaan masih kalah jauh sepinya. Pedagang kaki lima sudah mulai membereskan dagangan. Toko-toko sudah mulai tutup. Lampu jalan bersinar seraya menemani hari yang sudah semakin gelap. Tishya merasa tenang di jalan dan menikmati suasana malam, seperti beberapa beban terlepas, terbawa oleh angin. Ketika sampai di rumah, terdengar suara keributan. Hal itu membuat Tishya merasa beban yang tadinya sedikit berkurang, sekarang menjadi bertambah. 

"Makanya gausah sok sibuk kerja jadi orang," teriak mamah Tishya.

"Aku kerja juga demi kalian," jawab papah Tishya.

Tishya yang menyaksikan keributan itu hanya bisa diam tak berani mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Setiap kali terjadi keributan, yang ia pikirkan hanyalah mental dan perasaan adiknya. Ia langsung jalan melewati kedua orang tuanya dan berjalan cepat menuju kamarnya. Sesampainya di kamar ia tak bisa membendung air matanya, berderai membasahi pipi. Ia langsung menjatuhkan badan di atas kasur dan memeluk guling yang ia raih secara cepat.

"Kenapa sih harus ribut terus?" tanya Tishya dalam hati.

Ia berusaha kuat dan berulang kali menyeka air matanya. Keributan di rumah antara papah dan mamahnya sudah sering terjadi bahkan hanya karena hal sepele saja mereka dengan mudah mempermasalahkan hal kecil itu menjadi besar. Papahnya yang memiliki sifat keras kepala dan cenderung apa-apa yang tidak sesuai dengan apa yang dia mau dia dengan mudah meluapkan emosinya. Meskipun hanya sebatas kata-kata yang keluar dari mulutnya namun itu cukup membuat siapa saja yang mendengar akan merasa takut dan geram. Di sisi lain, mamahnya yang juga gampang marah namun lebih besar rasa sabarnya. Sifat itulah yang membuat keduanya sering terlibat dalam keributan. Selain itu, papah Tishya juga dulunya dididik cenderung keras oleh kakek Tishya, hal itulah yang membuat papahnya memiliki sifat keras seperti sudah turunan dan mengalir dalam diri papah Tishya. Terkadang jika ia sudah tidak tahan dengan keadaan rumah yang berisi suara-suara perdebatan, ia memilih untuk keluar. Entah kemanapun itu yang terpenting ia bisa keluar dan tidak mendengar keributan itu lagi.

***

Hari ini adalah hari Sabtu, Tishya libur sekolah. Ia pergi ke taman kota dan duduk santai menikmati pemandangan anak-anak kecil yang sedang bermain dengan wajah ceria seperti tidak ada beban. Orang tua anak-anak itu mengawasi dari kejauhan. 

"Jadi rindu masa kecil, di mana tidak ada senyum dan tawa yang dipaksakan untuk menutupi sebuah kesedihan," ucap Tishya dalam hati. 

Sejak kecil ia sudah terbiasa melihat kedua orang tuanya ribut, bahkan waktu kecil Tishya pernah mendapatkan sebuah pukulan dari mamahnnya. Hal itu karena sebuah kesalahan yang  tidak disengaja oleh Tishya namun mamahnnya tidak bisa menahan emosi. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, Tishya sudah tidak pernah mendapatkan sebuah pukulan apapun dari mamahnya. Melihat tingkah lucu anak-anak kecil membuat hati Tishya sedikit lega dan tenang. 

"Shya sini dong ke tempat biasa kita makan bareng," sebuah pesan Whatsapp dari sahabatnya muncul di layar ponsel milik Tishya.

"Oke," balas Tishya.

Setelah mendapat pesan itu, Tishya langsung pergi dari taman kota menuju kafe tempat yang sudah biasa ia kunjungi bersama Bela. Saat ia sedang mengendarai motornya dengan tidak sengaja ia melihat mamahnya sedang bersama seorang laki-laki, dan laki-laki itu bukanlah papahnya. 

"Ternyata bener," ucap Tishya lirih menahan emosi dan berhenti melajukan motornya lalu mengambil sebuah foto mamahnya dengan laki-laki tersebut. Setelah itu langsung pergi menuju kafe.

Fix LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang