DEVARA | 2

21 4 0
                                    

💐 Happy reading 💐


Mereka berjalan di koridor hingga melewati tikungan yang akan membawa mereka ke tempat parkir. Tepat di tikungan Ara tertabrak oleh seseorang hingga ia jatuh ke lantai. Untung keadaan di koridor sepi karena kebanyakan siswa sudah pulang. Ia mendongak ke atas, matanya menatap orang yang sudah menabraknya tadi. Vino rupanya, cowok dengan sejuta pesona yang dimilikinya. Tapi sayang, kelakuannya itu yang membuat Ara tak seperti cewek-cewek di sekolahnya yang sangat mengidolakan Vino.

Vino mengulurkan tangannya, “Lo gak pa-pa?”

Belum sempat Ara mengeluarkan suara, Devan lebih dulu membantunya berdiri dan mendorong bahu Vino.

“Kalo jalan yang bener, bisa?” ujar Devan dengan nada tak bersahabat.

“Wihh, kalem bro.” ucap Dion, sahabat Vino.

“Pahlawannya ngamuk nih,” celetuk Vino sambil menatap ke arah Devan yang sudah mengetatkan rahangnya menahan marah.

“Ahahahaha” Gelak tawa teman-teman Vino terdengar memenuhi lorong.

“Maksud lo apa, hahh?” Cowok itu langsung melayangkan tinjunya pada Vino. Seakan membalaskan perbuatan yang dilakukan Vino terhadap Ara tadi.

“Devan! Udah, Stopp Devan...,” ujar Ara memisahkan keduanya.

“Awas lo, urusan kita belum selesai.” ucap Devan menunjukkan smirk di wajah tampannya.

Devan dan Ara berjalan melanjutkan langkahnya menuju parkiran.

“Cantik. Siapa sih dia, kok kayak gak asing.” ucap Vino sambil melihat punggung gadis itu yang mulai menjauh. Ia merasa tertarik dengan Ara.

“Namanya Clara, anak IPA bos.” jawab Rio.

Menarik. Batinnya.

•••

Sesampainya di parkiran, Devan langsung memakai jaket dan naik ke motor sportnya tanpa bersuara. Ara tau, Devan sedang emosi. Tapi menurutnya Devan salah, ia tau Devan sangat peduli padanya. Tapi tak seharusnya ia kasar seperti itu tadi. Ara pun mulai naik dan duduk di belakang Devan. Di sepanjang perjalanan tak ada yang membuka suara. Hanya suara deru motor yang menemani perjalanan menuju rumah. Sesampainya di rumah pun Devan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ara menghela nafas pasrah. Mungkin nanti atau besok ia akan membicarakan ini kepada Devan. Ia pun pulang ke rumahnya sendiri. Jarak rumahnya dan rumah Devan dekat. Rumah mereka saling berhadap-hadapan. Hanya dipisahkan oleh jalan.

•••

Sepi. Ara yang masih mengenakan seragam sekolah memasuki rumah besarnya yang tampak hening seperti biasa. Wajar, hanya ia seorang diri yang tinggal di rumah sebesar ini. Hanya ada Bi Sumi yang membantu bersih-bersih rumah, itu pun terkadang ia pulang saat sore hari. Sebenarnya Oma tak tega jika Ara sendirian di sini. Biasanya sebulan sekali atau dua bulan sekali mereka bertemu, entah itu Oma yang ke sini atau Ara yang ke Bogor untuk mengunjungi Oma. Berat baginya jika meninggalkan kota ini, rumah ini, semuanya. Rumah yang menjadi saksi bisu akan kesendirian, kesepian dan masa kecilnya sampai sekarang. Hingga ia memutuskan untuk tetap tinggal di sini. Jika orang tuanya masih ada, mungkin sekarang ia akan diajak makan bersama atau hanya sekedar berbincang-bincang menanyakan bagaimana harinya di sekolah. Namun, sekarang hal seperti itu tak akan pernah ia alami. Sekarang Ara harus mengurus dirinya sendiri tanpa kedua orang itu.

Lelah adalah satu kata yang mendominasi tubuhnya saat ini. Padahal tak banyak kegiatan yang ia lakukan, tapi entahlah. Sesampainya di kamar Ara langsung merebahkan dirinya di kasur. Tiba-tiba ada notifikasi di ponselnya.

DEVARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang