prolog

10.5K 65 8
                                    

Namaku Aisha, 14 tahun.

Aku dilahirkan dan besar di lingkungan yang agamis dan religius walaupun aku lahir dari keluarga yang kekurangan secara ekonomi. Namun sejak kecil aku sudah diajarkan untuk selalu menjaga diri dan memakai pakaian pun serba tertutup. Hari-hariku selalu diisi oleh kegiatan yang berbau keagamaan.

Saat ini aku duduk di bangku SMP kelas 8. Sepulang sekolah aku akan mengajar di TPA mengajari anak TK dan SD kelas 1 belajar Iqra.

Setelah selesai mengaji anak-anak akan memberiku upah sebesar 2ribu rupiah setiap kali pertemuan. Jadi jika ada 5 anak yang aku ajar hari itu, aku akan mendapat upah 10rb rupiah. Lumayan bukan. Uang yang kudapat selalu aku kumpulkan dan aku tabung.

"Aisha, nanti jangan pulang dulu ya" ucap ustadz Makmur. Beliau adalah pimpinan TPA ini yang biasa mengajar anak SD ikhwan (lelaki).

"Iya ustadz" jawabku sembari membereskan buku iqra para murid kecilku.

"Nanti kamu sapu dan pel dulu yah mushola ini. Sudah kotor" ucap Ustadz Makmur. Aku mengiyakan saja.

Setelah semua murid dan guru pengajar lain pulang aku pun mengambil sapu dan menyapu seluruh bangunan mushola.

"Di pel juga Sha" ucap Ustadz Makmur yang ternyata dari tadi sedang mengamati aku beres-beres.

"Iya ustadz" jawabku lalu mengambil alat pel di gudang. Aku pergi ke kamar mandi dan mengisi ember dengan air. Lalu mencelupkan alat pel ke dalam ember itu.

"Pakai pengharum biar wangi"

Aku tersentak. Entah sejak kapan ustadz Makmur sudah berdiri di belakangku dan menyodorkan Super pel rasa lemon.

Aku mengangguk dan memasukkan super pel itu ke dalam air. Memang wangi sekali ini aromanya.

Grepp

Eh?

Aku terhenyak kaget saat merasakan ada tangan yang meremas bokongku saat aku menunduk memeras kain pel.

"U-ustadz?"

"Sana kamu pel. Nanti saya beri kamu uang lembur" ucap ustadz Makmur. Wajahnya terlihat biasa saja seolah tak ada sesuatu yang baru saja terjadi.

Aku mengangguk agak risih tapi yasudahlah.

Aku menyelesaikan mengepel mushola cepat-cepat. Dan ketika aku pamit pulang Ustadz Makmur memberi aku uang 10ribu rupiah.

Sebagai upah membersihkan mushola katanya.

.
.

"Assalamu'alaikum Bu, Aisha pulang"

Aku membuka pintu rumahku yang terbuat dari bambu. Tampak ibu sedang memasak kue untuk dijual keliling kampung dengan sepeda ontel nya sementara bapakku masih di sawah. Sawah punya orang. Bapak cuma diberi upah saja.

"Sha, nanti kamu antar kue pesanan Bu Halimah ini ya" seru ibu

"Inggih bu" sahutku. "Aisha mandi dulu ya bu. Gerah. Belum Ashar juga"

"Ya" saut ibu.

Aku mandi lalu sholat ashar kemudian berganti baju yang lebih santai. Kaos panjang dan celana training dipadu kerudung warna merah warna favoritku.

"Nanti sekalian ambil cucian juga ya nduk"

"Iya Bu, Aisha pamit. Assalamu'alaikum" aku mencium tangan ibu lalu menenteng kue pesanan Bu Halimah ke rumahnya. Aku pergi jalan kaki.

.

"Assalamu'alaikum Aisha? Mau kemana?"

Aku mendongak dan tersenyum pada ustadzah Nisa. Istri dari ustadz Makmur.

"Waalaikumsalam ustadzah. Saya mau ke rumah ibu Halimah mengantar kue" aku menunjukkan bungkusan kue yang kubawa.

"Oh iya. Hati-hati di jalan. Jangan sambil melamun" tegur ustadzah.

"Inggih" aku mengangguk malu ketahuan melamun sambil berjalan.

Ustadzah berpamitan. Tangan kanannya menggendong bayinya yang masih berusia 9 bulan sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan anak balitanya yang berusia 3 tahun. Dan di belakangnya ada satu lagi anaknya yang berusia 8 tahun.

Memang ustadz dan ustadzah Makmur serta istrinya ini memiliki banyak anak. Anak pertamanya seumuran denganku kelas 8 SMP. Dan aku lihat ustadzah ini perutnya membesar. Mungkin sedang hamil lagi.

Aku memperhatikan saat ustadzah membimbing semua anaknya untuk menyebrangi jalan raya. Subhanallah sungguh wanita yang strong. Kalau aku? Aduh. Mengajari anak-anak belajar Iqra saja terkadang habis kesabaranku. Bagaimana nanti ya setelah aku menikah dan harus memiliki banyak anak seperti itu..

.
.

TBC

✔️ Aisha : Gadis Berkerudung MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang