27. Andai ....

10.1K 1.9K 159
                                    

NGGAK MAU VOTE DAN KOMEN DULU NIIH?🤣
"
"
"

Udah? Oh, oke sip. Terima kasih👍

****

Hepoy redong😁

🐳🐳

Gagah meneliti sekitar. Kondisi sudah mulai sepi, tidak lagi penuh orang seperti tadi. Di depannya, terlihat jelas dua orang yang masih terdengar sesenggukan akibat tangis. Meski samar, tapi Gagah masih mendengar.

"Saya duluan, Pak."

Gagah menoleh ke sampingnya dan mengangguk saat beberapa rekan di kantor berlalu. Ia masih menatap ke arah depan. Tidak ada Jev di pemakaman itu, sejak ia dari rumah bosnya sampai prosesi pemakaman berakhir. Entah ke mana anak lelaki kebanggaan Bima itu.

Yang ada hanya Citra dan sang mama. Gagah melihat jelas Citra seolah tidak terima dengan kepergian papanya. Gagah tidak tahu kenapa. Melihat keadaan Bima akhir-akhir ini yang sudah lumayan mengkhawatirkan, sepertinya tidak cukup membuat anggota keluarga menerima hal terburuk dari kondisinya.

Namun Gagah berpikir hal lain, bahwa mungkin saja Citra tidak terima dengan kepergian yang disengaja. Tuduhan Citra pagi tadi ke Jev masih teringat jelas bagi Gagah dan menimbulkan tanda tanya. Meski ia bukan lagi bagian dari perusahaan itu, tapi rasa ibanya tetap saja ada.

Bima sudah menjadi atasannya yang sangat baik selama ini. Bahkan pagi tadi, pria itu tetap saja menyempatkan menghubunginya saat tahu Gagah mengajukan surat pengunduran diri. Tidak sampai situ, Bima sama sekali tidak mempersulitnya untuk keluar dari perusahaan itu, justru doa-doa baik ia dengar begitu tulus. Siapa sangka pagi tadi adalah percakapan terakhirnya dengan Bima.

Menghela napas pelan, Gagah memperhatikan sekali lagi dua orang yang masih berdiam di sana, terlihat sangat terpukul. Tapi ia bukan siapa-siapa dan tidak berhak memberi kalimat menenangkan. Ia akhirnya berbalik dan melangkah menjauh.

Sudah sampai di mobil, Gagah mengeluarkan ponselnya. Ada panggilan beruntun dari Sava, dan sudah berlalu satu jam dari panggilan terakhir.

Gagah bukan lari. Hanya saja ia butuh waktu dan ruang agar emosinya tidak meluap-luap. Ia pernah kalap dan membuat Sava sakit hati dengan bentakannya. Ia tidak mau itu terjadi lagi. Dengan mendengar kabar kepergian Bima membuatnya harus pergi saat itu juga.

Cukup dengan memikirkan bahwa Sava mungkin sangat sakit hati saat ia tinggalkan tadi, membuat amarah Gagah mereda. Meski kecewa, tapi ia tidak lepas tanggung jawab begitu saja. Gagah menyayangi istrinya lebih dari apa pun meski Sava tidak merasa hal yang sama.

Jadilah hal satu-satunya yang ia tuju hanya rumah, tempatnya bisa menemukan kenyamanan meski istrinya sempat ia abaikan dan tinggalkan tadi.

Sampai di basement apartemen, Gagah segera masuk lift. Tidak menunggu lama, ia sudah sampai di depan unit apartemennya dan membuka pintu. Tidak ada tanda-tanda Sava ada di sana. Sepi suasananya membuat Gagah mendadak merasa kehilangan.

Langkah Gagah menuju kamar. Ia membuka pintu dan sama saja, kosong. Mungkin Sava memang ke kantor, meski jadwal Sava masih dua jam lagi. Jadi ia lanjutkan langkah ke walk in closet, namun berhenti tepat di perbatasan kamar saat melihat Sava di sana.

Hal yang membuat dada Gagah terasa nyeri dan detakannya terasa amat kuat. Ia menghampiri dengan cepat. Tangannya hinggap di bahu Sava yang tergeletak di lantai.

"Sava," gumam Gagah dengan nada khawatir yang amat kentara. "Sav."

Tepat saat Gagah meraih tubuh Sava agar didudukkan, ia membelalak melihat sesuatu di lantai berkeramik putih itu. Darah.

Fishing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang