9. Harus Banget!

10.7K 2.3K 359
                                    

Panjang lagi dooong!

🐳🐳

"Jadi lo udah buka usaha ini 3 tahun?" tanya Gagah sembari menoleh ke kanannya. Sava duduk tepat di sampingnya karena mereka sedang makan daging asap.

"Kurang lebih," jawab Sava. Ia balas menatap Gagah lalu mengernyit mendapati lelaki itu diam melihatinya. "Kenapa?"

Gagah nyengir saja lalu menyuap lagi makanannya. "Makan lo rapi amat. Pura-pura dibelepotin harusnya di pipi. Entar gue pura-pura lap. Romantis pasti tuh."

"Geli banget," cibir Sava tidak terima.

"Kata siapa?" tanya Gagah tidak terima. "Itu namanya bentuk perhatian. Sekecil apa pun noda yang ganggu muka cakep lo itu gue tau."

"Buaya."

"Eh, sembarangan." Meski begitu Gagah tertawa. "Emang muka gue kayak buaya?"

"Nggak."

"Terus? Suara gue?"

"Iya."

"Suara buaya emang gimana?"

"Kayak lo." Sava menatap Gagah dengan alis terangkat. "Bener kan?"

Memang lelaki tempatnya salah dan dosa kalau begini. Gagah meneguk minumannya karena hilang akal lagi buat menyanggah. "Perasaan gue gini-gini aja, apa muka gue keliatan bercanda ya?" gumamnya.

Mereka diam beberapa saat meski keduanya sudah menyelesaikan makan. Gagah yang lebih dulu memulai lagi. Ia memutar stool agar menghadap Sava. "Kenapa lo percaya sama gue, Sav?"

Mendengarnya membuat Sava ikut memutar stool agar mereka berhadapan dengan lutut yang saling beradu. "Ada Boja di luar."

"Boja?" Gagah ingat pria kekar tinggi besar kelebihan otot itu. "Boja kayak kamboja," gerutunya sedikit sebal.

"Iya, Kamboja."

"Apa?!" Gagah melotot sebentar, tapi lalu tawanya terdengar. "Kalo cewek masuk akal namanya. Lah cowok tinggi besar kayak dia namanya Kamboja?"

"Iya," jawab Sava lagi meyakinkan. "Nama panggilan."

"Bukan nama asli?"

Sava mengedikkan bahu. "Nggak tau nama aslinya."

"Astaga." Gagah masih tertawa. "Sekalian ditanem biar ototnya berakar di tanah tuh. Kalo nama panggilan beneran parah dia, udah nggak sabar memendam diri di tanah kayaknya. Gue harus maafin dia cepet-cepet karena pukulannya waktu itu. Takut dia keberatan di alam sana karena gue belum maafin dia. Sampein ya, Sav. Gue maafin dia walaupun pukulannya bikin bokap gue ngira gue hamilin anak orang. Sialan emang si bunga kuburan itu."

Terdengar tawa yang lain. Tentu saja Sava tertawa geli mendengar ucapan Gagah yang tidak ada hentinya itu. "Nanti bilang sendiri."

"Nggak." Gagah menggeleng. "Males liat mukanya. Sok oke. Pengin gue tonjok balik tapi entar tangan gue yang patah pasti."

"Katanya nggak marah?" cibir Sava.

"Kesel aja gue." Gagah berdecak. Ia kembali serius menatap Sava. "Jadi kenapa lo ngebolehin gue ke sini?"

"Karena ada Boja," jawab Sava lagi.

"Boja pernah ke sini juga?"

"Enggak." Sava menggeleng kuat-kuat.

"Kirain. Beneran gue tanem entar kalo ke sini."

"Cuma lo."

Gagah pasti salah dengar tentang ini. "Cuma gue?"

Fishing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang