Kirana memeluk lututnya seraya meresapi embusan angin yang datang menerpa. Ia bisa melihat dari bukit bagaimana si jago merah melahap bangunan yang sudah tua itu. Bulir bening mengalir, bukan karena sedih, melainkan lelah jiwa dan raga.
Ia menoleh ke belakang lalu menatap pohon yang usianya lebih tua darinya. Dahulu, ia sering melarikan diri ke tempat itu untuk menghilangkan luka di hati akibat perlakuan orang tuanya.
“Ini adalah kali terakhir aku menangis. Kuatkanlah aku, Tuhan, sampai saat itu tiba. Setelah itu, aku pun akan beristirahat,” ucapnya terisak.
“Nyonya ....” Digo memanggil majikannya dan menunjukkan air mineral sebanyak 1,5 liter, sesuai pesanan Kirana. Lalu, ia meneguk air itu hingga tersisa setengah botol.
“Matahari hampir terbenam. Lebih baik kita pulang sekarang, Nyonya. Tuan Dareen mungkin akan khawatir,” ucap Digo.
“Cih! Hei, anak muda, kau terlalu polos untuk menyimpulkan sesuatu.” Tak mungkin Dareen mengkhawatirkannya, itulah yang ada di pikiran Kirana.
“Baiklah, tapi Pak Adam sudah menyuruhku untuk membawamu kembali,” jelas Digo.
Kirana tersentak dan bergegas menuju mobil yang terparkir di bawah bukit.
***
Dareen tengah berkutat dengan laptopnya, diselingi perbincangan lewat ponsel. Begitulah, ia tetap sibuk walau di rumah. Hal ini juga yang membuatnya sedikit melupakan Flora, sahabat yang ia cintai. Mereka adalah sepasang manusia yang terjebak dalam zona pertemanan.
Kemudian, pintu terbuka secara perlahan. Lalu muncul wanita dengan gaun yang tak seputih sebelumnya. Ada banyak jelaga yang menempel di kain mahal itu.
“Aroma apa ini? Apa kau telah membakar sesuatu?” protes Dareen sembari terbatuk.
“Rumah, aku telah membakar rumah!” Tawa mengembang di wajah kusut Kirana.
“Gila!” celetuk Dareen tak percaya sambil melanjutkan aktivitasnya.
Kirana menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang milik Dareen. Betapa terkejutnya lelaki itu, sampai-sampai ia hampir melompat.
“Enyah kau! Jangan mengotori tempat tidurku!” perintahnya. Namun, perempuan itu tak kunjung mengubah posisinya.
“Ambilkan aku minum!” pinta Kirana dengan suara parau. “Hei, Hei, mengapa kau pergi? Ambilkan aku minum!” panggil Kirana setengah berteriak. Ia memukul-mukul ranjang dengan kesal.
Kirana menyeret tubuhnya untuk mengambil segelas air. Saat di koridor, ia berpapasan dengan Valda. Lelaki itu terkesiap dengan penampilan Kirana yang kacau. Ia mendekati perempuan itu dan mendapati bahwa suhu tubuhnya tinggi. Lantas, Valda segera membuka jaket yang ia kenakan dan memasangkannya ke tubuh Kirana.
“Ambilkan aku minum!” pinta Kirana.
Dengan cekatan, Valda kembali membawa Kirana ke kamar. Lalu, ia mendudukkannya di sofa. Beberapa senti dari sana, ada sebuah dispenser. Tentu saja Kirana sedikit terkejut.
“Sejak kapan benda itu ada di sana?” Kirana tampak kebingungan.
Lelaki dengan rambut berponi itu mengambil satu tablet obat penurun panas dari kotak P3K. Kemudian, ia meminumkannya pada Kirana, wanita yang sampai saat ini mampu membuat hatinya bergetar.
Lalu, ia membaringkan Kirana di sofa. Kemudian, matanya menangkap sebuah kejanggalan. Ia menghampiri rak di sudut yang membentuk sebuah ruangan. Sontak dadanya berdesir mengetahui Kirana dan Dareen tidak satu ranjang. Jauh dari lubuk hatinya, ia senang akan kenyataan itu.
“Apa kau mau teh? Kami memiliki teh hijau, favoritmu.”
Kirana menggeleng lalu berkata, “Aku merindukanmu, Tuan Apoteker.” Ia pun terlelap.
Valda tertawa kecil mengetahui kebiasaan mengigau Kirana ketika demam yang belum hilang. Secara bersamaan, bilik hatinya mulai tersusun kembali setalah mendengar ungkapan Kirana.
“Aku pun merindukanmu, Kirana,” bisiknya. Lalu ia mengusap rambut wanita itu.
Valda terkejut tatkala Dareen tengah menatapnya tajam.
“Aku tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya, tapi tolong jangan gegabah. Terlalu banyak mata di rumah ini, rumor mudah sekali menyebar,” ujar Dareen menasihati.
“Bagaimana denganmu? Apa kau mendapatkan banyak pertanyaan dari orang kantor? Mengingat kau tidak mengundang mereka ke acara pernikahan,” ucap Valda mengalihkan topik.
“Tak ada yang tahu mengenai status baruku,” jelasnya sembari memulai pekerjaannya kembali.
“Nah, bukankah banyak saksi di rumah ini, rumor bisa terbang di udara dengan mudah,” ucap Valda sambil berlalu.
Dareen sedikit gemas dengan ucapan Valda yang menyudutkannya. Terkadang, ia tak berkutik bila berhadapan dengan lelaki yang lebih muda darinya itu. Lalu pandangannya berpindah pada seorang wanita yang terkulai lemah di sofa. Banyak tanda tanya yang menyelimuti pikiran. Termasuk pernyataan batu loncatan yang ditujukan Kirana pada Valda.
“Perilakumu barusan pada Valda sangat berlawanan dengan perkataanmu kemarin. Apa sebenarnya tujuanmu menjebakku?” gumamnya.
***
Keluarga Bramantya sedang sarapan bersama. Pak Adam turut hadir di meja makan. Kirana baru melihatnya lagi setelah pernikahan dua hari yang lalu.
“Bagaimana dengan kondisi kandunganmu?” tanya ayah mertuanya pada Kirana.
“Mmmh, sehat, Pak. Eh, maksudku Ayah.” Kirana tampak gugup.
“Dareen, mau sarapan pakai apa?” tanya Kirana pada suaminya dengan sikap manja yang dibuat-buat.
“Beri aku roti selai coklat,” jawab Dareen.
Kirana kesulitan membuka tutup selai coklat. Dengan sigap Valda mengambil alih wadah selai itu. Ia menyaksikan Valda bisa dengan mudah membukanya. Lalu, lelaki itu mengoleskan selai di atas roti dan memberikannya pada Dareen. Kirana salah tingkah dibuatnya.
Tak lama kemudian, asisten rumah tangga datang membawa dua piring nasi goreng dengan topping telur mata sapi.
Valda menyodorkan sepiring nasi goreng pada Kirana sambil berkata, “Kau sedang hamil, makanlah yang banyak. Lagi pula, kau tidak biasa makan roti. Biasanya kau makan seporsi nasi uduk lalu bubur kacang hijau. Oh, ya, aku sudah menyuruh Bibi membuatkan bubur kacang hijau.”
Ayahnya tersedak melihat perlakuan anak kandungnya pada Kirana. Sedangkan Dareen, ia merasa ada yang tak beres dengan hatinya. Sebuah perasaan yang sama ketika dulu ibunya mengatakan bahwa ia akan memiliki adik.
“Bagaimana dengan Dammag? Apa prosedurnya sudah bisa launching?” tanya Pak Adam membuka pembicaraan mengenai pekerjaan.
Dareen berkata, “Bisa dibilang belum. Kami masih kesulitan.”
“Apa kau sudah coba mengganti kolom atau fase gerak? Atau ...,” ucap Kirana sok tahu.
“Tentu saja, sudah!” sergah Dareen yang membuat jantung Kirana hampir copot.
“Kalo begitu, apakah kau sudah coba ganti formula obat itu? Aku pun pernah menemukan hal yang serupa saat bekerja di laboratorium,” ucap Kirana lembut sambil menyunggingkan senyum pada Dareen. Lelaki itu tak sadar bahwa ia telah membalas senyuman Kirana.
“Kau pernah bekerja di lab?” tanya ayah mertuanya.
“Kami dulu satu sekolah,” ucap Valda. Pak Adam pun langsung mengerti.
“Lalu, mengapa kau memilih kerja di toko kelontong?” tanya Dareen sambil memasukkan roti ke mulutnya.
“Aku tak tahan, mereka menjadikan kami sapi perah. Sementara, gaji tak seberapa,” kali ini Kirana menatap tajam pada Dareen. Ia curiga, apakah Dareen seperti itu juga.
“Mengapa kau menatapku seperti itu. Astaga, matamu besar sekali,” ujar Dareen menutupi perasaan canggungnya. Kirana memutar bola matanya sambil menghela napas.
Gegas Valda berdiri meninggalkan yang lain seraya melihat waktu di jam tangannya, “Aku harus segera berangkat. Kirana, aku akan membelikanmu buah kiwi. Vitamin C dan asam folat yang terkandung baik untuk ibu hamil,” ucap Valda sambil menepuk pundak Kirana.
“Aku sudah selesai juga,” kata Dareen.
Kirana membersihkan serpihan roti yang menempel di kemeja putih suaminya. Lantas, Dareen terlihat salah tingkah.
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Kini, di ruang makan hanya ada Kirana dan ayah mertuanya.
“Ada laporan mengenai kebakaran di bekas kelab malam. Aku sudah menyelesaikan masalah itu. Aku harap tak ada lagi misi yang akan kau lakukan. Ingat, dengan tujuanmu datang kemari.” Ia mengakhiri perkataannya dan pergi.
Dari balik tembok, Dareen tak sengaja menangkap pembicaraan kedua orang itu. Dadanya terasa sesak mengetahui hal tersebut. Apa? Apa sesungguhnya tujuan Kirana masuk ke dalam keluarga Bramantya?
***
![](https://img.wattpad.com/cover/292958396-288-k126695.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisakan Sedikit Rasa - Ketika Menjadi Baik Saja Tidak Cukup
Roman d'amourKirana putus asa karena pengkhianatan yang dilakukan orang tuanya terus menerus. Ia memutuskan untuk mengubah pribadinya demi terlihat berguna di mata mereka. Jika menjadi baik tak cukup untuk meraih kebahagiaan, mungkin ia harus mencoba jalan yang...