Prolog

19 0 0
                                    

"DIDIIIII~."

Seruan ceria itu seketika membuat seorang gadis yang baru saja keluar dari rumahnya bergidik ngeri. Melihat sesosok anak laki-laki dengan perawakan kecil tengah berjalan kearahnya, gadis itu sontak tersadar dan buru-buru memacukan langkah kakinya untuk menghindari sosok yang tak pernah bosan mendekatinya itu meski seringkali diusir dengan sikapnya yang blak-blakan.

"Kenapa sih dari tadi ngikutin aku mulu?" ujar gadis itu geram, cemberut wajahnya mengetahui sosok anak laki-laki seumuran dengannya berjalan dibelakangnya, mengintilinya kemanapun sejak dia keluar dari rumahnya. Mendapati sosok itu cengengesan saja, gadis itu mencebik dan berbalik lalu berlari cepat sambil berteriak kencang di sepanjang jalan.

"Saga kan aku udah bilang jangan ikutin aku."

Saga, anak laki-laki itu terkekeh melihat gadis itu yang berlari menjauhinya. Hanya beberapa langkah dibiarkannya gadis itu berlari, dia langsung menyusulnya secepat kilat.

Perawakannya memang lebih kecil dari gadis itu, tapi larinya justru dua kali lebih cepat sehingga tak perlu banyak tenaga dia sudah berjalan mensejajari langkah gadis cantik bekuncir kuda itu.

"Didi nggak capek?"

"Jangan panggil aku gitu." sahut gadis itu, semakin cemberut saja saat mendengar panggilan tersebut. Hanya Saga yang memanggilnya begitu, sehingga membuat banyak orang jadi salah paham dengan mereka berdua, termasuk kedua orangtuanya, saudaranya serta orangtua Saga yang lalu membuat mereka semua selalu mencengcenginya dengan bocah itu.

Dia benci itu, lebih tak suka lagi jika disangkutpautkan dengan Saga. Lagian dia cantik, lucu, imut dan wangi begini, tidak pantas jika disandingkan dengan Saga yang kecil, dekil, hitam, cungkring dan bau matahari itu. Ewh.

“Namaku itu Diandra. Jadi jangan panggil gitu lagi, apaan Didi, Didi.” cibirnya sambil memperagakan bagaimana nada suara Saga kala memanggilnya, senyum Saga terbit melihat ekspresi Didi yang meski sebenarnya gadis itu tengah menyemburkan amarahnya, entah perpaduan kulitnya yang putih dan pipinya yang tembam dibawah terik matahari tapi dimata Saga justru gadis itu tampak… begitu menggemaskan.

“Aku nggak suka ya.” eja Diandra yang samar-samar mengembalikan atensi Saga.

"Nggak mau."

Otomatis Diandra melotot, dilihatnya Saga yang menghentikan langkahnya dengan tatapan tak lepas darinya. "Kenapa gitu?" desak Diandra tak terima.

Saga cengengesan, "Biar beda."

Diandra mendecih, anak kecil kayak Saga mau yang spesial-spesialan begitu, itu kan gayanya orang dewasa. "Tapi kan aku nggak suka." Diandra bersidekap, bak orang dewasa yang tengah merajuk.

"Kalau Saga masih mau manggil kayak gitu, Saga nggak boleh deket-deket sama aku." ujarnya lagi, dengan nada mengancam.

"Tapi aku suka sama kamu."

Diandra kontan melotot, "Ih, ngapain kok suka sama aku?" ujarnya, kesal karena disukai Saga. "Nggak, nggak, Saga nggak boleh suka sama aku."

"Tapi kamu keren."

Diandra menggelengkan cepat, dia tidak mau tau. "Pokoknya, mulai sekarang, Saga nggak boleh suka sama aku lagi." ujar Diandra, tak mau menerima bantahan.

"Suka-suka aku dong."

Mata Diandra seketika memanas, hanya memerlukan beberapa detik hingga akhirnya suaranya yang melengking pecah  bersamaan dengan air matanya yang bergegas berjatuhan.

Seketika Saga dibuat panik, anak laki-laki itu berusaha menenangkan Diandra, namun semakin dia berusaha membujuk, tangis gadis itu justru semakin kencang. Disaat yang bersamaan, beberapa orang nampak melewati mereka dan menanyakan apa yang terjadi, Saga yang kepalang malu hanya menggelengkan kepala disertai cengiran polos. Beruntung orang-orang hanya berlalu, tanpa turut ikut campur. Ah ya, mungkin saja mereka memang sudah terbiasa dengan situasi begini, memorinya berputar ke beberapa bagian lampau yang terlupakan olehnya, kejadian seperti ini memang sering terjadi–Didi menangis dan Saga berusaha menenangkan lalu akhirnya baikan–polanya sama persis.

Saga menatap gadis cantik yang masih menangis itu, tidak sekencang sebelumnya tapi tangisnya sudah mereda dan menyisakan beberapa bulir air mata dipipinya, tak lupa sesenggukannya tatkala menangis. Lucu memang, perasaan ingin membawanya pulang kerumah meletup-letup.

Tapi bukan itu yang mengganggu pikirannya sekarang, melainkan kenyataan: apa selama ini dia memang semengganggu itu? Hingga nyaris setiap bertemu, Didi tak pernah tak menangis karnanya?

Saga tampak menyesal, "Aku nggak akan ganggu Didi lagi." ujarnya, namun juga ada perasaan tak rela bercokol dihatinya jika setelah ini tak bertemu Didi-nya.

Diandra yang tengah menyusut ingusnya segera mengangkat pandangannya dan menatap Saga dengan dahi mengernyit.

"Habis ini aku janji nggak bakal ganggu Didi." Ulang Saga.

"Beneran?"

Saga mengangguk, "Besok aku mau pindahan."

Diandra terkejut mendengar perkataan anak laki-laki itu, namun seperkian detik kemudian perasaan senang membuncah didadanya, membuat senyumnya kemudian tertarik membentuk bulan sabit.

Saga cemberut ketika tahu Diandra justru sangat antusias mendengarnya akan pindah. "Tapi Didi mau nggak janji?"

"Janji apa?"

"Janji dulu." Saga mengulurkan jari kelingkingnya. Diandra yang melihat tangan Saga kotor, menggelengkan kepala. Saga menatap tangannya, menemukan tangannya penuh dengan tanah karna menanam kapsul waktu didepan rumahnya, dia segera menariknya lagi dan lalu menyembunyikannya dibelakang tubuh.

"Mau janji?"

Diandra mengangguk saja, toh setelah ini Saga juga akan pergi. Yang menurut pemahamannya itu pertanda baik karna Saga tidak akan lagi mengganggunya seperti sekarang. "Iya, iya, bawel."

Gadis itu tampak siaga saat melihat Saga berjalan mendekati, laki-laki itu tidak terlihat terganggu dengan wajah was-was yang Diandra tunjukkan, melainkan mengulum senyum. Saga berhenti ketika ujung sandal yang dikenakannya menyentuh ujung flat shoes gadis itu, lalu berbisik dengan seriusnya.

Air muka Diandra seketika berubah, matanya langsung melotot saat mendengar janji yang Saga ingin Diandra tepati, meski ambisi untuk menolak begitu besar tapi perkataan Saga yang polos seketika membuat gadis itu bergidik ngeri.

Namun apa yang bisa diharapkan dari ucapan yang dilontarkan anak seusia 13 tahun itu?

[]

Bersambung...

You're So Moody! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang