1. Training together

840 117 25
                                    

Naruto disclaimer Masashi Kishimoto

Saya tidak mendapatkan keuntungan materiel dari cerita ini selain kepuasan

Naruhina Fanfiction special for #NHmonth #NHmonth2021

Training together - Blank periode

.

Badai besar berlalu menyisakan langit yang cerah. Namun tak menghapus jejak yang ditinggalkan sang badai.

Setelah perang shinobi usai, dunia shinobi menjadi damai. Namun, menyisakan kesedihan mendalam bagi yang ditinggalkan oleh kerabat terdekat dalam masa pertempuran. Luka fisik maupun batin tak dapat di pungkiri membekas dalam hati dan ingatan. Belum lagi keadaan desa yang kacau, hancur akibat peperangan. Maka para warga sipil maupun shinobi bekerja sama untuk kembali memulihkan keadaan desa.

Desa Konoha salah satunya, beruntung dampak yang di terima Konoha tidak terlalu besar dibandingkan desa yang berada di perbatasan negara. Hingga dalam beberapa bulan, keadaan desa sudah berangsur membaik walaupun belum 100%.

Sistem pemerintahan berangsur-angsur pulih. Para murid sudah dapat kembali bersekolah di akademi. Dan para shinobi dapat kembali berlatih, mengasah kemampuan mereka lebih dalam lagi.

Seperti yang dilakukan gadis Hyuga yang sempat menjadi perbincangan di klan karena kepiawaiannya dalam bertarung. Ternyata, selama ini yang mereka pikirkan mengenai Hyuga Hinata adalah salah besar. Gadis itu tidak lemah, sebaliknya gadis itu tumbuh dengan sangat kuat dan dapat mempelajari teknik utama klan tanpa mereka tahu.

Hinata selalu rutin mengasah kemampuannya seorang diri di tepi sungai. Ya, seorang diri karena rekan berlatihnya sang kakak sepupu Hyuga Neji sudah berpulang sehingga tak dapat lagi berlatih bersama. Hatinya sangat terpukul mengingat bagaimana Neji tewas karena melindunginya. Untuk itu ia akan terus berusaha berlatih sekeras mungkin agar tidak ada lagi yang terluka, bahkan mati karenanya dan dapat melindungi orang yang dikasihinya.

"Serius sekali!"

Hinata tersentak ketika suara berat khas seorang pria menyapa indra pendengarannya. Ia menghentikan pukulannya pada sebatang kayu, lalu menengadah ke asal suara. Dapat ia lihat pemuda bersurai pirang itu tengah berdiri di atas dahan pohon dan mengulas senyum secerah mentarinya ketika mata mereka saling bertemu.

"Naruto-kun," gumamnya dengan pipi bersemu.

Naruto turun dari dahan pohon, sekarang ia sudah berada di hadapan Hinata, "Aku sudah berada di atas sejak 30 menit yang lalu, tapi kau tidak menyadarinya."

"Eh? Benarkah?"

Naruto mengangguk yakin, "Apa ada yang sedang Hinata pikirkan sampai tak menyadari keberadaanku?"

Hinata tersenyum canggung, tapi tak lama wajahnya sendu. Ucapan Naruto benar adanya. Pikirannya tak dapat lepas dari sang kakak sepupu, pemuda bermata sama dengannya itu merupakan orang berharga baginya selain ayah, Hanabi, dan tentu saja Naruto juga termasuk di dalamnya.

"Aku yakin Neji sudah bahagia di atas sana. Bukankah ia bisa bertemu dengan paman Hizashi di sana (?)"

Hinata mengulas senyum tipis, "Naruto-kun benar ... Hinata menengadah menatap langit yang begitu cerah ... Kak Neji pasti bahagia di atas sana."

Naruto mengulas senyum terbaiknya dengan pandangan mata yang tak lepas dari gadis Hyuga yang masih setia menatap langit, seakan langit biru tersebut lebih menarik daripada safir miliknya.

"Berlatihlah denganku!"

"Eh?" Hinata segera mengalihkan pandangannya pada Naruto, "Ber-ber-latih de-ngan Naruto-kun?" Ia mendadak gugup dengan wajah yang mulai memanas. Merah ... sudah pasti wajahnya begitu merah. Memalukan.

Naruto terkekeh kecil sembari mengangguk yakin, "Wajah Hinata merah," lantas hal selanjutnya yang Naruto lakukan adalah tertawa kencang hingga membuat Hinata menunduk malu.

.

"Haaahh ... aku belum terbiasa dengan satu tangan. Sulit sekali." Naruto mendesah kecewa, latihannya dengan Hinata berjalan kacau karena dia hanya bisa menghindar ke sana kemari. Bukankah itu tidak keren sama sekali (?)

Hinata terkikik kecil, "Naruto-kun sudah melakukannya dengan baik. Hanya butuh pembiasaan sampai tangan buatan nyonya Tsunade selesai."

Pipi Naruto bersemu mendengar pujian dari Hinata. "Benarkah?"

Hinata mengangguk yakin, "Tentu saja, menangkis serangan bertubi-tubi dengan satu tangan sangatlah hebat," lantas Hinata menyudahi ucapannya dengan senyum termanisnya.

Naruto memalingkan wajahnya, ia begitu malu hingga wajahnya sudah merah. Belum lagi senyum manis Hinata yang meneduhkan hati itu, entah kenapa membuatnya salah tingkah. Maka hal selanjutnya yang Naruto lakukan adalah menghindar dari situasi yang tak biasa menurutnya ini, "Lebih baik kita ke Ichiraku, aku lapar setelah latihan dengan keras."

Hinata kembali terkikik geli melihat tingkah Naruto yang menggemaskan menurutnya. 

.

Dua mangkuk ramen jumbo sudah terpampang di depan mata, mereka berdoa bersama lalu mulai melahapnya. Nyatanya hanya Hinata yang dapat menikmati makanan berkuah pedas gurih tersebut, sedangkan Naruto terlihat kesulitan menyumpit mie menggunakan tangan kirinya. Dia bukanlah seorang kidal.

Hinata yang melihatnya segera menyimpan sumpit miliknya, "Naruto-kun butuh bantuan?" Ia bertanya sungkan, karena jika menawarkan diri secara langsung khawatir jika Naruto tidak akan menerima bantuannya.

Naruto nyengir, "Sejujurnya iya, tapi bagaimana?"

Hinata tersenyum, ia lantas meminta Naruto untuk menyerahkan sumpit yang berada di tangannya. Naruto menurut dengan tatapan bingung, lantas hal selanjutnya yang Hinata lakukan mampu membuat Naruto semakin salah tingkah.

"Ayo buka mulutmu!" pinta Hinata yang sudah menyodorkan sesumpit mie ke depan mulut Naruto.

Dengan canggung, Naruto membuka mulutnya, satu sumpit mie berhasil mendarat di dalam mulutnya. Kenapa aku merasa malu disuapi Hinata? Padahal di rumah sakit aku sering di suapi perawat wanita termasuk Sakura-chan, tapi kenapa rasanya berbeda?

"Kalau makan tidak boleh melamun!" Naruto tersentak, ia tersenyum canggung. 

Hinata menggelang pelan, ia lantas kembali meminta Naruto untuk membuka mulutnya. Suapan demi suapan terus ia berikan sampai mie dalam mangkok tandas.

.

Setelah menghabiskan waktu di Ichiraku, mereka berjalan bersisian dengan tujuan kediaman masing-masing. Suasana cukup hening untuk beberapa saat sampai Hinata membuka suara terlebih dahulu. "Naruto-kun."

"Ya?" Naruto menoleh dengan wajah penuh tanya.

"Kita berpisah di sini saja ya! Aku ada urusan dulu," ucap Hinata dengan ragu. Ia merasa tidak enak jika meninggalkan Naruto seorang diri, padahal tadi mereka latihan bersama.

"Kita pergi bersama!" ucap Naruto tanpa keraguan di dalamnya seolah ia tahu tujuan Hinata sesungguhnya.

"Eh?" Hinata terkejut.

"Hinata ingin ke makan Neji 'kan?"

"Dari mana Na ...

"Itu tidak penting," sela Naruto dengan cepat, "lebih baik sekarang kita ke toko bunga milik Ino, sebelum bunga mataharinya kehabisan." Bukan tanpa alasan Naruto berucap begitu, karena hari semakin gelap, biasanya di toko bunga hanya tersisa beberapa jenis bunga saja.

Sedangkan Hinata kembali di buat tercengang di tempatnya, kenapa Naruto selalu tahu apa yang ia pikirkan?

"Hinata, cepat!"

Hinata terperanjat, ia segera berlari menyusul Naruto yang tak jauh berada di depannya. Kembali berjalan bersisian, lengkungan ke atas dari bibir mungil Hinata tak pernah lepas barang sedikitpun. Hatinya dipenuhi euforia yang tak dapat digambarkan dengan jelas. Hinata sangat menyukai hari ini, termasuk menyukai orang yang bersamanya seharian ini.

.

Sang surya meredup ketika kau datang.
Seolah ia tahu jika kau pemilik sinar sesungguhnya.
Aku selalu tertarik pada sinarmu.
Dan yang lebih membuatku tertarik, kau selalu tahu segalanya tentangku dibanding sang surya.

Just Two Of Us ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang