3. Childhood

407 84 20
                                    

Naruto disclaimer Masashi Kishimoto

Saya tidak mendapatkan keuntungan materiel dari cerita ini selain kepuasan

Naruhina Fanfiction special for #NHmonth #NHmonth2021

Childhood - Memories
.


.

Sejak kecil, Hinata tak pernah mendapat pengakuan dari orang terdekatnya. Hatinya sakit? Tentu saja. Hal yang paling berharga dari hidup bagi seorang anak yang terlahir kedunia adalah kasih sayang dan pengakuan dari orang terdekat, seperti orang tua.

Hinata pikir kasih sayang yang orang tuanya berikan haruslah beriringan dengan pengakuan terhadap kemampuannya. Namun, pikirannya salah. Ketika kenyataan yang ia terima berbanding terbalik dengan pikirannya, maka ia pikir Ayah sekaligus ketua dari klan Hyuga tersebut tak menyayangi dirinya.

Sempat terpuruk dengan segala tekanan, ia berusaha bangkit setiap harinya. Memperhatikan secara seksama apa yang terjadi di dalam klan, ada yang lebih menyedihkan dibandingkan dituntut untuk terus berusaha lebih kuat untuk penerus klan. Yang lebih menyedihkan adalah nasib sang kakak sepupu Neji Hyuga. Hidup dari keluarga cabang, membuat si jenius Neji tak mendapat pengakuan atas kemampuannya yang melebihi dirinya--sebagai penerus pimpinan klan. Berakhir Neji menjadi lawannya setiap kali berlatih, namun Neji tak dapat mengeluarkan semua kemampuan yang ia miliki. Bukankah itu berkebalikan darinya? Dia bersusah payah berlatih agar kuat untuk mendapat pengakuan klan sedangkan sang kakak sepupu yang jelas jauh lebih kuat darinya tak mendapatkan pengakuan dari klan, bahkan menekan kemampuannya dalam bertarung? Hinata tak dapat mengerti semuanya.

Beralih pada sikap sang ayah padanya yang terbilang dingin dan terlalu keras, namun ternyata dibalik itu semua sang ayah menyayanginya lebih dari apa pun. Ayahnya hanya mengikuti peraturan klan yang kolot dan ketat. Hinata bisa apa? Ia hanya mampu menahan kepedihan ketika kehidupan menekannya terlalu keras. 

Namun, dibanding harus menyesali takdirnya yang terlahir sebagai klan tertua dengan segala peraturan kolotnya, Hinata menemukan setitik rasa iri pada si pria Uzumaki yang hidup seorang diri tanpa pengakuan siapa pun. Si Uzumaki muda, tak pernah menyerah dengan kehidupannya, ia selalu berlatih dengan keras seorang diri tanpa memedulikan cemoohan orang-orang. Hinata tahu, hati si Uzumaki lebih sakit darinya, namun ia dapat menampilkan keceriaan dimana pun ia berada. Hinata iri dengan dua hal itu. Kerja keras dan tak berlarut dalam kesedihan. Maka ia memutuskan Uzumaki Naruto sebagai role model baginya.

Berusaha dan terus berusaha. Pantang menyerah dan terus mengukir senyum.

Usaha tak mengkhianati hasil, pengakuan ia dapat dari orang yang selalu membuatnya iri sekaligus kagum--Uzumaki Naruto. Terbukti dari teriakan penuh semangat dari Naruto ketika ujian chunin yang mampu membuatnya bangkit kembali.

Namun sayang, Hinata tak mampu untuk bercakap-cakap dengan Naruto karena rasa malunya. Ingin sekali berbicara, berlatih bersama, namun ia bisa pingsan jika berada di dekat si Uzumaki muda. Tenang saja, itu dulu. Sekarang Hinata sudah menjelma menjadi gadis cantik, kuat dan lebih berani berhadapan dengan Uzumaki Naruto. Beberapa kali bertarung bersama Naruto membuat kepercayaan dirinya meningkat.

Ah, jika berbicara mengenai Uzumaki Naruto, 1 bab tidak akan cukup. Terlalu banyak kenangan yang tersimpan apik di dalam hati dan pikirannya.

Dan yang paling berkesan bagi Hinata adalah ketika mereka menjalankan misi bertiga bersama Kiba. Hinata memberikan bekal buatan tangannya, nasi kepal bentuk wajah Naruto yang jika dipikirkan kembali membuatnya malu sekali. Itu konyol. Namun, respon Naruto ketika itu mampu membuatnya terbang ke atas langit.

"Hinata, kau akan jadi istri yang hebat."
Istri yang hebat untuk suami terhebat--Naruto--pikirnya.

.

"Kenapa Hinata senyam senyum sendiri?"

"Eh?" Hinata tersentak ketika Naruto memberikan pertanyaan yang mampu membuatnya mati kutu. Dijawab malu, tidak dijawab nanti Naruto mengiranya gila. "Hanya mengenang masa lalu," jawabnya dengan senyum kikuk.

"Indah sekali ya?" tebak Naruto karena mendapati wajah bahagia Hinata yang kentara.

"Tergantung."

"Kenapa begitu?"

"Karena hal yang menurutku indah belum tentu menurut orang lain begitu."

Naruto cemberut, itu artinya Hinata tak ingin memberitahukannya. "Baiklah, kalau tidak mau memberitahuku, aku tidak akan datang lagi untuk menemanimu latihan."

Hinata menyimpan jari telunjuknya di dagu, "Bukankah Naruto-kun yang memintaku untuk berlatih bersama? Untuk menguji tangan buatan Nona Tsunade?"

Naruto memalingkan wajah malunya, ia merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa dia lupa jika dialah yang meminta Hinata untuk menemaninya berlatih? Sungguh Naruto ingin menghilang sekarang juga ke dimensi lain. Apa ia bertukar peran saja dengan Kurama? Rasanya itu ide yang cukup bagus.

"Jangan memintaku bertukar hanya karena kebodohanmu."

Hey, belum apa-apa Kurama sudah menolaknya mentah-mentah. Rubah itu memang menyebalkan.

Hinata terkikik geli melihatnya, "Aku senang bisa berlatih bersama Naruto-kun."

"Eh?" Naruto menoleh kembali ke arah Hinata, "Be-benarkah?" Loh, kenapa jadi gugup?

Hinata mengangguk tanpa ragu, setelahnya ia memainkan kedua jari telunjuknya, berusaha memberanikan diri mengungkapkan yang sebenarnya. "Naruto-kun adalah panutanku. Bahkan aku mengikuti jalan ninja Naruto-kun."

Naruto melipat kedua tangannya di depan dada, ia merubah wajahnya sedatar mungkin. Walau kenyataannya dalam hati rasanya ada sesuatu yang meledak-ledak. Entahlah, ia hanya begitu merasa senang mendapati fakta tersebut. Secara tidak langsung Hinata sudah mengikutinya sejak lama sekali.

"Aku tidak pernah mengizinkanmu mengikuti jalan ninjaku."

"Eh? Apa harus ada izinnya?" Tanya Hinata dengan perasaan tak karuan.

"Tentu saja."

"Apa Naruto-kun marah aku tidak meminta izin?"

"Hinata pikirkan sendiri." Naruto masih mempertahankan mimik wajahnya yang datar, sesekali ia melirik Hinata yang tengah menunduk dalam--menganggap serius ucapan Naruto. Sungguh menggemaskan, ia sampai bersusah payah menahan tawa. "Tapi ... aku bisa memaafkanmu, dengan syarat."

Hinata kembali menengadah, mata bulatnya memancarkan permohonan ampun yang kentara, "Apapun."

"Pertama, maafkan sikapku ketika misi tempo lalu."

Hinata mengerjap, apa ia tidak salah dengar? "Aku sudah memaafkan sejak saat itu, bahkan aku sudah melupakannya."

Naruto mendesah lega, selama misi waktu itu, hatinya tidak tenang karena permintaan maafnya dijawab secara tersirat, ia kurang mengerti. "Kalau begitu, yang kedua teraktir aku makan ramen."

Hinata mengangguk kencang tanda setuju, "Berapa mangkukpun akan aku traktir."

Naruto tersenyum miring, "Ketiga ...

"Eh, masih ada lagi?"

"Keberatan?" Matanya melotot dengan wajah songong membuat nyali Hinata ciut seketika.

"Tidak kok. Yang ketiga apa?"

"Suapi aku!"

"Eh? S-suapi?" Hinata gugup bahkan ia kesulitan menelan salivanya. Tempo hari saja, jantungnya berdetak kencang, ia gugup setengah mati ketika menyuapi Naruto.

"Kalau tidak mau ya sudah, aku mau langsung pulang saja," ancamnya halus seraya memutar badannya berpura-pura untuk pergi.

Hinata kelabakan, refleks ia menarik pergelangan tangan Naruto hingga membuat pemuda itu menghentikan langkahnya dan menoleh malas. Hinata menggigit bibir bawahnya, wajahnya sudah sangat merah. Dengan satu tarikan napas, ia memekik, "Aku mau ... aku mau menyuapi Naruto-kun." Dan Naruto berteriak girang dalam hati.

.

Mengikuti langkahmu adalah tujuanku
Berada di sisimu adalah impianku

Just Two Of Us ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang