Helaan napas lolos dari mulut Alung saat bola matanya menjurus pada dahaknya yang berpadu dengan bercak darah. Alung menyalakan kran. Air yang segar mengucur menghilangkan bercak darah tadi dari pandangannya. Alung langsung membasuhi mukanya dengan air yang tentunya sedikit menciprat ke kaos putih polosnya.
"Udah hampir 4 tahun aku sakit kanker paru-paru," tuturnya. Ia menatap bayangan dirinya sendiri di kaca wastafel. Helaian rambutnya sedikit demi sedikit mulai menipis, bibirnya yang pucat tidak seperti dulu, disertai kantong mata kendur yang tambah menjelaskan bahwa kondisinya kacau saat ini. "Gimana kalau aku mati duluan sebelum bisa banggain bunda? Siapa yang bakal jaga bunda sama adik-adik aku kalau aku meninggal?" lanjutnya.
Tuhan telah memberi Alung cobaan yang tak tanggung-tanggung. Membuatnya terpuruk saat mengetahui kemungkinan dia bisa berumur panjang sangatlah kecil. Hidupnya sekarang hanya bergantung pada Tuhan dan obat-obatan yang disarankan oleh dokter Renja, sang dokter spesialis paru yang sangat antusias memeriksa penyakit Alung. Alung sedang menjalankan proses pengobatannya saat ini. Alung percaya kalau Dokter Renja adalah orang yang akan membantunya menyembuhkan penyakit.
Sesudah ayah dan ibunya berpisah, mereka memilih tinggal di kos-kosan milik Bu Adina. Dia orang yang mempunyai hati luar biasa besarnya kendati Alung tak mengenalnya. Ia meringankan biaya kos-kosannya untuk Mitra yang dilanda perkara finansial hingga hari ini.
Alung memutuskan membawa langkahnya keluar dari kamar mandi dengan pikirannya yang masih berantakan. Dia melihat seorang perempuan paruh baya berkacamata rabun sedang mendudukkan dirinya di kasur. Raut kesal terpatri di wajah wanita itu jelas karena benang yang ingin ia satukan dengan jarum tak kunjung berhasil.
"Bunda," panggil Alung.
"Iya, Sayang? Ada apa?" sahut Mitra. Bahkan atensinya tak bergeser sedikitpun meski Alung memanggilnya.
Alung menahan senyum. Ia mendekati Mitra demi meraih jarum dan benang yang lagi digenggamnya. "Sini Alung bantuin."
"Bunda mau jahit baju seragamnya Hanura yang sobek, tapi benangnya nggak masuk-masuk," jelas Mitra.
Alung duduk di sebelah Mitra. "Bunda tumben nggak pergi jualan?"
"Hari ini Bunda libur dulu, mau ngabisin waktu sama anak-anak Bunda. Karena setiap hari Bunda jualan, Bunda nggak punya waktu buat kalian. Bunda nggak bisa ngurusin kamu."
"Bunda, Alung 'kan udah gede. Nggak perlu segitunya ngurusin Alung," protesnya. Alung menyerahkan benang yang keadaannya sudah sukses terpaut dengan jarum kepada Mitra.
"Tidak peduli berapa usia seorang putra. Bahkan ketika dia besar dan kuat, dia selalu menjadi anak kecil bagi ibunya, Nak," ucap Mitra. Mitra mulai menundukkan kepalanya demi bisa bersitatap dengan baju seragam lusuh milik Hanura yang akan ia jahit.
"Oh iya, Bun. Coba sebutin salah satu keinginan Bunda? Semoga aja Alung bisa wujudin? Aku mau bahagiain Bunda." Alung bertanya seraya tersenyum tulus.
Mitra tersenyum balik. "Kenapa kamu tiba-tiba nanyain itu?"
"Hidup Alung nggak lama lagi. Alung masih inget perkataan dokter Renja, dia bilang, selagi masih ada peluang untuk hidup maka bahagiakan orang-orang yang kamu cintai. Dan aku cinta Bunda, adik-adikku, semuanya. Aku mau jadi kebanggaan Bunda sebelum aku mati." Sudut bibir Alung masih terangkat seperti sebelumnya, membentuk sebuah senyuman kecil.
Tangan Mitra terangkat ke kepala Alung dan mengusapnya lembut. "Alung pasti sembuh... Bunda yakin. Bunda bakal terus berdoa kepada Tuhan, meminta kesembuhan buat anak Bunda."
Tatapan Alung berubah layu. Bulir-bulir air jatuh dari pelupuknya saat mendengar suara Mitra yang bergetar hebat, memaksa berkata, "Bunda pengen ngeliat kamu sembuh sebelum Bunda yang mati."
![](https://img.wattpad.com/cover/290461379-288-k656721.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Kebanggaan Bunda
FanficTentang keempat saudara yang hampir tak pernah menyerah menghadapi seburuk apapun rintangan di dunia dan takdir Tuhannya.