Awal Mula

5 0 0
                                    

Perpisahan selalu menjadi topik pembahasan setiap kita bersama. Dengan cara yang beragam, kadang ringan disertai canda, terkadang begitu dalam hingga salah satu diantara kita meminta berhenti. Namun setiap kali pembahasan mengenai perpisahan berakhir, kita akan saling mendekap erat satu sama lain. Berusaha mengenyahkan bayangan perpisahan yang menghantui. Kita sama-sama ingin, meskipun sebentar, bisa saling memiliki tanpa rasa takut akan kehilangan.

Semenjak awal aku sudah mengetahui bahwa kamu telah memiliki pasangan. Meskipun janur belum meresmikan, aku tahu cepat atau lambat itu akan terjadi. Dan kamupun semenjak awal tidak menutupinya. Alasanmu masih mau menerimaku dalam hidupmu karena kamu memang tidak mencitainya. Hubunganmu dengannya adalah hasil rekayasa untuk alasan trah keturunan. Dalam silsilah keluargamu, jodoh sudah ditentukan sedari kecil dan tentu tanpa ada kesempatan penolakan atau keberatan. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia adalah jodohmu.

Kamu pernah bercerita saat awal kita dekat bahwa kamu sudah tahu siapa jodohmu. Aku sedikit heran mendengarnya, kenapa kamu begitu yakin padahal pacaranpun belum pernah. Saat itu aku belum mengetahui dirimu, keluargamu, cerita perjodohan, atau apapun tentang hidupmu. Kamu tertawa kecil menanggapi kebingunganku, dan mulai bercerita.

"Hmm, mulai dari mana ya," dengan wajah sok serius kamu mulai membuka suara, "Hmm, keluargaku bisa dikatakan adalah keluarga yang super konservatif. Dan egois harus ku bilang. Semenjak zaman kakek nenekku, jodoh bukan lagi urusan Tuhan, tapi kehendak orangtua. Ayah dan Ibuku tidak saling mengenal sebelum menikah. Mereka baru bertemu 1 bulan sebelum pernikahan."

Aku mulai menangkap arah pembicaraan, tapi aku tidak ingin menyela. Kamu berhenti sejenak, seolah menunggu respon dariku. Tapi aku diam tak bersuara. Ceritamu berlanjut.

"Dulu aku sempat bingung, kenapa mereka pasrah menerima. Ibu bilang perjodohan itu untuk menjaga trah keluarga. Sebagai keluarga terhormat dengan keturunan darah biru, pasangan setiap anggota keluarga tidak boleh sembarangan. Bibit, bobot, bebet harus selalu menjadi elemen utama penilaian. Dan yang berkuasa memutuskan bukan anak yang akan menjalani tapi orangtua yang dirasa lebih mampu."

"So..., siapa jodohmu?" Aku mulai penasaran dengan orang yang akan menjadi pesaingku.

"Kamu penasaran?"

"Sedikit. Aku ingin tahu seperti apa pesaingku, jadi gak ada salahnya mengumpulkan informasi dan amunisi." Kamu tertawa kecil mendengar jawabanku.

"Sayangnya aku tidak terlalu mengenalnya. Kita sempat beberapa kali bertemu tapi tidak banyak mengobrol. Jadi maaf, kamu harus cari metode lain untuk bisa bersaing dengannya."

"Aku kira kamu tidak akan bertemu dengannya sebelum mendekati hari pernikahan."

"Ya, anggap saja aku lebih beruntung dari kedua orangtuaku. Atau juga lebih buruk." Aku menampakkan wajah kebingungan. "Setidaknya aku sudah tau siapa jodohku jauh sebelum hari pernikahan, dan aku tidak bingung dan penasaran. Tapi di sisi lain aku mulai menghidupkan perasaan untuknya jauh sebelum pernikahan, yang sayangnya tidak terlalu bagus. Secara penampilan dia oke, dari sikap dan perilaku bisa dibilang baik, tapi sayang aku tidak menaruh rasa untuknya."

"Jadi kamu menyesal sudah mengenalnya lebih dulu?"

"Tidak juga, tapi aku juga tidak tahu. Selama ini aku tidak terlalu memikirkan pasangan ataupun cinta. Aku tidak terlalu tertarik untuk menjalin hubungan dengan lelaki. Mungkin aku terlalu asyik dengan diriku sendiri. Dijodohin pun bukan masalah, jadi aku tidak perlu repot-repot mencari calon." Kamu berhenti, mengalihkan pandanganmu kepadaku, "Tapi sekarang, sepertinya aku mulai menyesal."

"Kenapa?"

Sejenak terdiam. Kamu tersenyum, "Aku mulai tertarik dengan cinta."

***

PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang