Hijabku

2 1 0
                                    

Orang bilang, kadar kecantikan seorang wanita adalah seberapa dia lihai dalam merawat tubuh. Putih, berbadan ideal, hidung mancung, semua telah menjadi patokan yang siap untuk menjajah mental dan fisik para remaja.

Menurutku, itu hanyalah bualan duniawi yang menyesatkan. Cantik tak harus memiliki presepsi tersebut, tetapi cantik harus wanita. Itu adalah kunci utama yang sudah pasti menyandang kata cantik. Cantik juga relatif, jangan lupakan itu!

"Lihatlah, Lia! Sosok gadis yang memiliki lesung pipi yang sedang dikerumuni massa. Itu adalah definisi cantik yang sesungguhnya." Naomi mengalihkan perhatianku dari novel yang berjudul 'Pulang' karya Tere Liye.

Sekilas, aku melihat ke arah yang dituju oleh telunjuk Naomi. Ada seorang siswi yang begitu antusias menerima sambutan para siswa yang mungkin saja kurang belaian.

"Kamu juga cantik, Na!"
Naomi sontak mencubit lenganku. Dia rasa, ucapanku ini hanyalah bualan semata. Padahal ini adalah kejujuran yang sewajarnya terucap.

"Mana ada? Wajahku ini berjerawat. Tidak seperti dia yang putih mulus. Terlebih, punya body goals!" ucap Naomi dengan menggebu.

"Masih jerawat ‘kan, yang tumbuh di wajah? Bersyukur saja, karena bukan semak belukar atau rumput ilalang yang hinggap di wajahmu itu." Aku memutar bola mata malas.

Jika sudah seperti ini, seketika minat membaca novel hilang entah ke mana. Memilih bangkit dan menghiraukan Naomi yang sibuk memanggil-manggil namaku.

"Aku sibuk, Na! Tidak ada waktu, bila kamu ajak menggosip. Terlebih, ini hal yang tak berfaedah." Jujur, aku sudah muak dengan patokan ini.
Bagaimana bisa setiap harinya Naomi ribet dengan urusan mempercantik diri. Iya, itu wajar. Aku paham akan hal itu. Manusia memang memiliki nafsu, tetapi setidaknya perlu dikemas dengan baik.

"Tak berfaedah bagaimana? Mempercantik diri itu suatu keharusan bagi perempuan." Naomi masih saja bersikeras membahas hal itu.

Sampai-sampai, dia mengejarku yang sudah cukup jauh darinya. Menarik tangan ini dengan kasar. Mau tak mau tubuhku berbalik dan menghadap ke arahnya.

"Kamu mau cantik buat siapa, sih, Na?" Aku bertanya dengan nada santai, tapi terkesan menusuk.

Naomi terlihat berpikir sejenak. Tak lama setelahnya, dia kembali mendongakkan kepala. "Supaya indah dilihat. Menjadi nilai estetika tersendiri di mata orang lain." Dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Senyuman itu tercetak jelas dan jangan lupakan wajah Naomi yang merona.

Mendengar penuturan itu, sontak saja membuat hati ini merasakan gejolak hebat. Seperti ditusuk oleh ribuan belati. Sakit rasanya, tetapi nyatanya tak berdarah.

"Na. Aku capek. Aku mau ke kelas. Assalamualaikum." Sebelum dia menjawab, aku sudah melangkah pergi meninggalkan Naomi seorang diri.

Entahlah, rasanya sangat sulit. Mendengar penuturan Naomi, sama saja memberi luka baru. Naomi memang sahabat terbaik, tetapi pikiran kita berbeda jauh.

Aku juga sadar, bila tak sepenuhnya bisa meng-handle segala perbedaan yang ada. Namun, sebisa mungkin berusaha untuk mengikis. Membuang segala khayalan-khayalan milik Naomi yang bisa saja membuat gadis itu terjerumus dalam lingkaran dosa.

Aku memang bukan perempuan paling suci di muka Bumi ini. Namun, aku juga tidak kotor. Aku hanyalah seorang gadis biasa, yang berpetualang mencari kebaikan menuju jannah-Nya kelak.

"Sekolah mengadakan pengajian, ‘kah?"

"Lihat, tuh! Bajunya sudah mirip daster nyokap di rumah."

"Cewek tuh, ya, seharusnya enak dipandang. Lah, ini? Kayak lihat orang-orangan sawah saja!"

"Tidak gerah, ya? Aku yang lihat saja sudah kepanasan!"

Laskar PemimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang