Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan pintu terdengar jelas di telingaku. Dengan cepat aku langsung menjatuhkan tubuhku ke atas kasur dan berpura-pura tidur.Tok... Tok... Tok... Kembali ku dengar suara itu. Aku sengaja tidak membukanya, aku tahu, itu pasti Bunda.
'Kleeekkk' suara pintu mulai terbuka, sengaja aku memejamkan mata. Tak ku hiraukan lagi siapapun itu yang masuk ke dalam kamarku tanpa permisi. Aku mencium parfum seseorang yang begitu familiar di hidungku. Ali? Benarkah dia? Suara hentakan kaki mulai berjalan ke arahku, dan ku rasakan seseorang duduk di sampingku. Bau tubuhnya begitu melekat. "Ini pasti Ali?" Batinku begitu yakin.
"Prill..." Panggilnya pelan. Ya benar. Dugaanku selalu benar. Ibarat melempar bola basket, aku tak pernah meleset, selalu pas pada ring basket yang dituju.
Aku membuka mataku pelan, ku lihat lagi mata indahnya. Bukan. Bukan inginku untuk melihat kedua matanya. Matanya melemahkanku, membuat semua kesalahannya seketika termaafkan. Aku benci. Aku benci semua itu. Aku beranjak dari tidurku, menyandarkan tubuhku ke dinding kasur.
"Nggak maen PS?" Tanyaku sinis.
"Al lagi nganterin Bunda sama Ayah ke rumah temennya"
"Oh, jadi nggak ada kak Al kamu nyamperin aku, ada kak Al kamu lupain aku? Oke nggak papa kok. Aku kan bukan pacar kamu. Cuma pelengkap kamu aja kalo nggak ada kak Al di samping kamu" emosiku mulai memuncak. Pandanganku ku edarkan ke sembarang tempat. Tapi tidak melihat matanya.
"Kamu kenapa sih? Akhir akhir ini sensi banget sama aku? Salah aku apa? Aku udah turutin semua kemauan kamu. Dari kamu mau rubah panggilan kita, jadi aku kamu. Terus kamu mau aku nanyain, kamu udah makan apa belum? Aku udah nanyain itu sesuai kemauan kamu. Sekarang kamu mau apa lagi? Jangan kayak anak kecil gini deh? Kamu kan udah gede..." Tukasnya panjang lebar. Mendengar pengakuannya, hatiku bagaikan tersambar petir. Aku mencoba untuk kuat dan tidak menangis, sudah cukup selama ini aku lemah di hadapannya.
"Aku mau kamu kayak dulu lagi. Nggak nuntut apapun dari aku. Aku kesini tuh cuma mau ngobrol sama kamu. Bukan lihat kamu yang marah-marah nggak jelas kayak gini"
Ngobrol? Selama 2 tahun kami berpacaran, baru kali ini ku dengar dia mau ngobrol denganku. Ada apa dengannya? Ada angin apa dia bisa berbicara seperti itu?
"Kamu berubah Prill" lanjutnya lagi yang kemudian melangkah pergi meninggalkanku, tanpa menunggu jawaban dari mulutku. Siapakah yang tersakiti? Aku atau Ali? Ucapannya seolah menyalahkanku. Seolah aku yang paling bersalah dalam pertengkaran ini.
Aku terisak, air mataku menetes hanya dalam satu kali kedipan. Aku tak dapat membendungnya. Aku berlari menuju atap tanpa sepengetahuan Ali. Aku berteriak sekencang-kencangnya di atas atap rumahku. Setidaknya aku bisa mengurangi sedikit beban di hatiku.
Aku membaringkan tubuhku di atas lantai yang berkeramik. Aku menatap langit yang tak berbintang. Kemana semua bintang-bintangnya? Mungkinkah semua bintang itu berlari karna tak ingin melihatku? Aku mengedarkan mataku ke sekeliling langit. Namun tak satupun aku melihat ada bintang.
"Seandainya kamu tahu Li, perhatian kamu itu menjadi moodbooster aku setiap hari. Aku butuh perhatian kamu, aku butuh kasih sayang kamu. Dan yang harus kamu tau, aku wanita. Yang itu artinya, perhatian dari kamu itu menjadi kebutuhan aku" ucapku pelan. Rintik hujan mulai menyentuh tubuhku. Aku memutuskan untuk berteduh di sudut atap yang hanya tertutup plastik. Aku berjanji pada diriku sendiri, untuk tidak turun sampai Ali pulang dari rumahku. Sekalipun derasnya hujan mulai membasahi seluruh tubuhku. Aku tak perduli. Aku tak kuasa menatap matanya, selalu saja aku lemah saat melihat matanya. Seolah mata emasku sudah terlanjur mencintai mata indahnya. Bagaikan pelangi, kedua matanya seolah meredahkan hujan di hatiku dan memunculkan pelangi-pelangi indah di bola matanya. Matanya meneduhkanku. Seolah ada pelangi di bola matanya.