The Truth.

7 0 0
                                    

Sudah lama Taeyong tidak tidur dengan nyaman, berapa hari belakang dia selalu tertidur dengan kerikil di belakang punggungnya dan dingin yang merayap hingga membuat tangannya terasa beku. 

Tapi saat ini dia tidak ingin bangun, dengan selimut lembut dan bantal empuk; dia tidak keberatan jika tidak bangun lagi. Semua yang terjadi seakan mimpi, dan dia sedang tertidur di kamarnya lalu Ibunya akan membangunkannya untuk sekolah.

Tangan Ibunya akan mengelus rambut Taeyong seperti saat ini, sebelum mengguncangkan bahunya pelan―bukan bersenandung. Siapa yang bersenandung? Taeyong ingin membuka matanya, namun senandungan tersebut seakan membuat matanya semakin berat.

Dia terbangun saat Ten mencipratkan air ke mukanya. 

"Tidur lagi jika kau masih lelah," Ten menyodorkan nampan berisi sepiring nasi dengan tuna kalengan. "Tapi kau harus makan dulu, kau sudah dua hari tertidur."

Dia tertidur selama dua hari?

Pikiran Taeyong terasa kacau. Banyak yang ingin ditanyakannya kepada Ten, kepada Johnny, namun semua tergantikan oleh rasa lapar dan lemas yang melandanya. Dengan gesit dia mengambil makanan dari nampan dan melahapnya tanpa sisa.

"Jika sudah selesai makan, dan kau tidak bisa beristirahat lagi, pergilah keatas; berjemur dibawah matahari dan bergerak. Deadline untuk perjanjian ketiga sudah semakin dekat, kita harus melakukan persiapan." Ten berbicara kepada Taeyong, namun pandangannya kosong dan tidak fokus.

Ten melangkah pergi keatas dan Taeyong baru tersadar bahwa dia berada di basement rumah Johnny. Tidak ada perubahan berarti disini selain jendela yang ditutupi teralis besi, bahkan tempat permen yang disediakan oleh nenek Johnny ada di tempatnya biasa; di dekat tembok meja TV.

Taeyong merasa jika Nenek Johnny sudah meninggal. Rumah ini terlalu sepi. Dulu, meski hanya tinggal bertiga, rumah ini selalu ramai oleh tawa. Lalu Ayah Johnny harus kerja keluar kota dan hanya tinggal mereka berdua saja. Dan dia juga tidak yakin Ayah Johnny selamat.

Dengan sendokan terakhir Taeyong bangun dari kasur dan berjalan pelan keatas. Suasana diatas sangatlah berbeda dengan yang diingatnya. Cat tembok yang sudah pudar dan lilin remang-remang membuatnya bertanya.

"Kau sudah bangun?" Johnny turun dari tangga lantai dua sembari membawa tiga buah bantal. "Baguslah, aku baru akan membangunkanmu. Sebentar lagi meeting akan dimulai, ayo bantu aku menata bantal di ruang tamu."

Meeting apa yang melibatkan bantal?

Merasa skeptis, tapi Taeyong hanya diam saja. Dia tidak berada dalam posisi untuk beragumen, sejauh ini hal yang Johnny katakan benar terjadi. Dia akan diam dan melihat hasil kedepannya.

Ten sedang sibuk menata lilin di karpet ruang tengah yang dipenuhi dengan asap dari dupa besar-besar yang dibakar dan diletakan di pojokan. Taeyong terbatuk.

"Tahan sebentar lagi," Johnny buka suara, tangannya sibuk menata bantal membentuk segitiga. "Dupa ini hanya sebagai media saja; dunia kita masih dipisahkan oleh sebuah dinding tidak kasat mata dan kita harus menyesuaikan frekuensi untuk berkomunikasi."

Banyak sekali hal yang ingin Taeyong tanyakan, namun dia yakin Johnny tidak akan bisa menjawab semuanya.

"Jika kau ingin bertanya sesuatu, cepat baringkan badanmu di salah satu bantal." Ten menggerutu dan membaringkan badannya di salah satu bantal kosong.

"Kau bisa menanyakan segalanya pada Chi nanti." Johnny ikut membaringkan badannya. "Sekarang kau hanya perlu tiduran, dan tutup mata. Fokuskan pikiranmu pada bunyi jam."

Dan Taeyong melakukan hal tersebut. Dia berbaring dan menutup mata, namun bukanlah hal mudah untuk fokus pada dentingan jarum jam tua yang ada di ruangan ini saat paru-parunya hampir sesak dengan bau dupa yang mengudara tiada henti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DystopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang