V. they knew he would be alright.

107 7 0
                                    

  

Pintu asrama berderit pelan tatkala terbuka, kepala melongok ke dalam mengecek keadaan. Sepi.

Renjun melangkah pelan, mencoba menutup pintu tanpa membangunkan penghuni asrama yang mungkin sudah terlelap.

Sebelum kaki sempat menyentuh anak tangga, bulu kuduk Renjun kontan merinding. Entah kenapa merasa diawasi persis di belakangnya. Seraya meneguk ludah, Renjun menengok pelan.

Mendapati sosok berkulit pucat sedang menatapnya intens.

Lututnya mendadak limbung, masih berpegangan erat pada pegangan tangga saat Renjun kontan memekik. Kedua netra cokelatnya membulat dan reflek membungkam mulut dengan tangan.

Karena bukan hantu yang dia lihat, melainkan Mark, dengan wajah pucat pasi serta macbook di pangkuan, melirik Renjun aneh.

"Darimana aja kamu?" tanyanya santai.

"Hyung, jangan bikin takut kenapa! Jantungku rasanya mau berhenti berdetak, astaga." ucap Renjun sambil memegangi dada untuk merasakan hatinya masih berdetak normal, dia pikir ini akan jadi kali pertamanya melihat hantu. Untung saja bukan.

Setelah menunggu detak jantungnya kembali normal, Renjun bangkit. Bukan ke kamar, melainkan menuju dapur. Secangkir teh ada di genggamannya, ketika melihat Mark masih di sofa, bergelut dengan kertas coretan dan gitar yang dipetik. Renjun memilih duduk di sebelah Mark.

"Nggak jadi tidur?" tanya Mark, tanpa mengalihkan fokusnya di depan macbook.

Renjun menyesap tehnya lebih dulu, "Nemenin, hyung."

"Mau bantu? Aku nggak nemu nada yang pas," Renjun meletakkan cangkir, lalu sibuk menyesuaikan nada dengan petikan gitar Mark. Sesekali berdiskusi tentang comeback NCT 127 tidak lama lagi, sampai Mark memancing topik obrolan yang dia hindari.

"Kenapa kabur tadi pagi? Bukan kayak kamu biasanya."

Renjun memilih bungkam daripada menjawab, mengambil alih gitar di pangkuan Mark dan mulai memetik senarnya. Dugaannya tepat kenapa Mark bisa ada di asrama mereka larut malam seperti ini, kalau bukan untuk mengintrogasi aksi kabur Renjun hari ini.

"Kamu bisa cerita apapun ke aku, senyaman kamu gimana. Aku bakal dengerin," Mark merenggangkan otot yang terasa tegang, memandang Renjun yang masih enggan bicara, "Itu tugas seorang hyung, kan?

Renjun menarik senyum tipis. Mark khawatir, sama seperti yang lain. Jelas, Renjun sudah bersikap egois membiarkan semua orang kebingungan karena sikap kekanak-kanakannya.

Renjun memulai cerita, mengalir bebas beserta emosi yang dia rasakan. Perasaan sakit, kecewa dan tidak dihargai yang bercokol di hatinya lepas begitu saja.

Mark menghela napas ketika mendengar seluruh cerita Renjun, "Sekarang, maumu gimana? Kita tentu nggak bisa bikin mereka berhenti."

Senyum miring tercetak di bibir, mata sayu miliknya terlihat kelam, "Aku bakal jauhin mereka berdua." tuturnya datar.

Mark heran dan menggeleng, "No. Kalau kamu jauhin mereka berdua, itu bakal mengundang banyak tanya, Injunie. Bukan aku nggak menghargai keputusanmu, tapi ini salah."

Lagi, Mark sekali lagi tidak mengerti apa yang Renjun rasakan. "Hyung, aku nggak mau cuman jadi bahan hujatan orang karena temanan sama mereka berdua. Emang hyung pernah di posisiku? Orang ketiga?!" tanya Renjun dengan nada frustasi.

"Aku pernah." tutur Mark, menunggu reaksi dari Renjun tapi laki-laki itu masih diam.

"Gini, apa yang orang katakan itu cuman atas apa yang mereka lihat, 'kan? Kalian bertiga temenan, nggak ada satupun yang jadi orang ketiga di antara kalian. Itu kenyataannya." sambung Mark, "Terkadang, omongan orang lain nggak perlu kita dengerin. Kita cuman perlu tutup telinga dengan komentar mereka." kata Mark sambil menutup kedua telinganya, lalu tersenyum pelan pada Renjun.

Tak TerbacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang