4 | L

6.2K 315 4
                                    

Jangan lupakan Vote dan Komen di setiap part demi kemanjuan karya ini dan tentunya membantu penulis agar tetap semangat dalam berkarya. Terimakasih atas kerja samanya♡

•••

Cewek dengan rok ketat 8,5 cm di atas lutut itu melangkah tanpa peduli. Bajunya yang mengetat, menampilkan lekuk tubuh yang sempurna. Rambut hitam panjang itu dicepol berantakan, membuat tampilannya semakin berkesan dan mengugah saat ditatap para kaum adam.

"L."

"Hayoloh, L-nya nyari mangsa."

"Bukan nyari mangsa, tapi nyari pelanggan."

"Gue baru tau sekolah kita ada pasar. Dagangannya laris manis sama cowok pula."

"Tapi kok L sendirian, ya, pagi ini?"

"Pasarnya sepi kali."

"Pelanggan pada bosan. L-nya banyak bekasan."

"Telon, telon, ada yang mau beli nggak?"

"Haha."

Sudah biasa. Cibiran dan hianaan tidak pernah lepas dari pendengaran Reta. Namun, ia perlu diam lalu memendam tanpa berbuat ulah. Jika hidupnya tak tenang, setidaknya tidak ribet. Cukup dengar dan pendam. Hanya itu yang dapat dilakukan.

Mata para cowok terpusat pada Reta. Tidak akan ada yang menyia-nyiakan kesempatan mengoda cewek itu. Termasuk cowok-cowok yang tengah bersandar pada pilar depan kelas XII IPS 2.

"Pagi, Reta," sapa seorang cowok. Reta tidak membalas sama sekali.

"Tangan gue tiba-tiba gatel," ujar cowok lain. Dia yang paling Reta benci dari antara semua cowok disana. Coba tebak, siapa dia?

"Pengen nonjok orang?" tanya Fahri.

"Nggak. Pengen remas dada," jawaban cowok itu berhasil membuat Reta menelan ludah kasar.

"Aduh, aduh, dada siapa yang pengen lo remes?" tanya Dimas disela tawanya.

"Dada betinalah. Ya, nggak Jan?" sahut Gaby diselingi tawa kecil.

Reta yakin Januar tengah mengangguk antisias dibelakangnya.

"Tapi yang paling gue suka itu hasilnya," kata Januar.

"Hasilnya?"

"Iya, hasilnya setelah udah diremas."

"Gila. Pengalaman lo?"

"Iyalah. Gue pengen cobain sama Reta, tapi belum sempat."

Napas Reta memburu. Entah kenapa langkahnya terhenti, langsung membalikan badan, menatap sengit ke arah Januar.

Senyum lebar Januar tercetak jelas. "Eh, Reta."

Tangan Reta terkepal kuat, sorot matanya berubah tajam. Rasanya benar-benar kesal mendapat tatapan meremehkan dari Januar.

"Mau coba, Ret?" tanya Januar, "gue yang remas, lo nikmatin hasilnya."

Teman-teman Januar tertawa. Selalu seperti itu, dan Reta hanya akan diam tanpa sepatah kata. Kekesalannya hanya sebatas menatap Januar lalu lekas pergi tanpa mengeluarkan segala amarah.

"Si babi kalau ngomong nggak di filter!" Dimas yang berdekatan dengan Januar sampai memegang perut sambil terbahak.

"Gue nggak lagi selfi, ngapain pake filter?" sahut Januar.

Gaby tertawa pelan, memandang Januar sambil geleng-geleng. "Mulutmu harimaumu Jan. Ati-ati."

Fahri masih memeluk tembok. "Astaga. Ini tembok kenapa tepos amat, dah?"

Disaat semua tertawa, ada satu cowok yang hanya terdiam, memandang Reta tanpa ekspresi. Dia Kaden.

Saat Reta kembali membalikan badan, suara Januar kembali terdengar. "Yah, kok pergi, sih? Nggak asik, ah."

"Reta ... "

"Kalau nggak suka dada, paha juga nggak papa. Lembut-lembut lumayanlah hasilnya."

Reta mempercepat langkah. Namun, langkah kaki dibelakangnya terdengar semakin mendekat.

Belum sempat Reta memasuki kelas, tangannya diraih. Kilatan amarah Reta beri pada Januar.

"Maksud gue tadi, dada ayam kremes. Kalau lo nggak suka, pahanya juga boleh lo coba." Januar berbisik pelan. "Gue jago masak kalau lo nggak tau."

Kalimat terakhir Januar masih Reta tangkap dengan baik. Januar jago masak? Terus? Reta harus bilang 'wow' gitu? Cih.

Amarah Reta sedikit redah. Namun, tanpa sebab disentaknya tangan Januar lalu berlalu begitu saja.

Saat tiba dikelas pun Januar masih memandang Reta dari ambang pintu. Cewek itu tidak peduli pada sekitar yang menatapnya juga Januar. Orang-orang akan berpikir jika Januar mengantar Reta ke kelas pagi ini. Pasti seperti itu. Karena kelas Januar harusnya lebih dulu dari kelasnya.

Dari pada peduli pada Januar yang masih didepan sana. Reta memilih membuka lembaran buku paket yang sempat dibawanya dari perpustakaan tadi.

"Rajin banget."

Reta menoleh, menatap cowok disampingnya. Lebih tepatnya Kaden, teman sebangkunya. Cowok itu pindah sebulan yang lalu dan kini menempati bangku kosong di sebelahnya.

Reta hanya tersenyum kecil sebelum kembali menatap buku paket.

"Ret."

"Ya?" sahut Reta singkat, tanpa menoleh.

"Buat lo."

Reta menoleh untuk kedua kalinya. Pandangannya terpaku pada cokelat manis yang masih terbungkus rapih digengaman Kaden.

"Kenapa buat gue?" tanya Reta, tidak mengerti.

"Katanya cewek suka cokelat," jawaban Kaden selalu sama. Reta pikir itu alasan yang masuk akal, tetapi ia tak yakin jika hanya alasan itu yang Kaden punya.

Reta selalu menghargai pemberian setiap orang. Tidak ada alasan untuk menolak pemberian Kaden.

"Makasih," ungkapnya dengan senyuman kecil.

Tak sengaja Reta membuang pandangan hingga tatapannya bertemu dengan Januar. Cowok itu cemberut diambang pintu. Reta malah membuang pandangan ke lain arah.

"DEN WOY! BALIKIN COKELAT GUE YANG LO NYOLONG SEMALAM!" teriakan dari ambang pintu berhasil mengambil perhatian murid sekelas.

Saat menoleh ke asal suara, si pelaku sudah pergi.

Membuang pandangan dari Januar, tatapan Kaden beralih pada Reta. "Nggak usah dengerin, itu orang emang sinting."

Reta hanya membalas dengan senyuman tipis. Januar sinting.

•••

Rev 9 jan

MAURETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang