Bagian 3

18 3 0
                                    

Aku bersembunyi didalam kamar selama beberapa hari belakangan ini. Menolak ajakan makan malam bersama dan hanya fokus menulis ulang skenario light novel. Mataku sekarang kontras sudah memerah dan bengkak. Kantong mata terlihat jelas dan hitam, aku bisa merasakan daya hidupku berkurang setiap saat aku berpikir tentang kematianku.

Red flags ditempat-tempat point sudah aku tandai, sebisa mungkin aku menghindarinya. Reze beberapa kali mengintip dan mencoba menarik ku keluar dari kamar. Ayolah, gadis itu tidak membiarkan aku menjadi hikkikomori* untuk beberapa hari saja. Reze terlihat mengintip dicelah pintu, aku hanya meliriknya dari sudut mata dan kemudian menutup buku.

Aku sedikit menegakkan punggung dan mulai menggerakkannya perlahan hingga berbunyi kretek yang membuat Reze pias.

"Nona!" pekik Reze yang terdengar cukup membahana.

"Ya?"

"Punggung anda patah!"

Reze kau terlalu cepat mengambil kesimpulan. "Tidak, aku hanya melakukan peregangan saja."

"Peregangan? Tapi ada bunyi tulang remuk tadi nona!"

Aku memangku kepala dengan tangan, sedangkan jari kelingking ku dari tangan lainnya mengorek telingaku yang berdenyut mendengar suara Reze yang keras itu.

"Tenanglah." titahku. Gadis muda itu terlihat memberengut dan memilih duduk diatas lantai menghadap kearahku. Oh, lihat! Wajahnya memerah dan siap untuk menangis kapan saja. Aku berbalik menatapnya. Kedua kakiku terbuka diantara punggung kursi, aku juga melipat tangan diatas punggung kursi sembari menatap Reze.

"Reze," panggilku. Aku lihat anak itu sudah mulai terisak. Aku jadi sedikit merasa bersalah karena kekhawatirannya. "Dimana aku bisa mencari guru sihir?"

Reze mengerjap, lucu pikirku. "Untuk apa anda mencari guru sihir lagi? Anda kan sudah punya guru sihir nona."

Ah begitu ya, pantas saja sihir sudah seperti aliran darah didalam tubuhku. Aku bahkan bisa mengeluarkannya secara tiba-tiba.

"Baik," aku memangku wajahku sejenak, "sekarang dimana guru sihirku itu?"

"Sudah dieksekusi karena gagal membantu kebangkitan anda."

"Eh?" aku cengo. Kalau begitu kenapa dia bilang aku masih punya guru sihir kalau sudah di eksekusi begitu.

Reze... Kau terlalu santai dengan keluarga yang mudah mengeksekusi nyawa manusia lain ya. Aku sedikit mengernyitkan kening. "Apa yang mulia Marquess sudah mencarikan guru sihir yang baru untukku?" tanya ku membuat Reze berwajah aneh. Apa mungkin karena aku tidak memanggil Marquess dengan sebutan Ayahanda?

"Em... Apa anda ingin saya menyampaikan keinginan anda kepada tuan Marquess, nona?" tanya Reze kebingungan.

"Iya," jawabku tersenyum. "Tolong sampaikan ya."

.
.
.

"NONA!"

Reze, kapan kau bisa berhenti berteriak? Aku hanya mendengus lihat gadis itu berlari-lari kecil kearahku dengan melambai-lambaikan sebuah amplop.

"Tuan Marquess akan akan mengirim seorang guru baru untuk anda dalam dua hari lagi."

Di dunia ini warna rambut sudah seperti pelangi saja. Ada yang merah ada yang kuning pirang sepertiku dan ada juga yang ungu. Aku jadi ingin tahu apa yang dipikirkan author pembuat cerita ini ketika membuat karakternya seperti anak ayam yang dijual didepan pagar sekolah dasar.

"Baiklah," ucapku pelan meletakkan kertas keatas meja. "Temani aku keluar."

Aku berdiri meski sedikit goyah karena tidak tidur belakangan ini. Reze dengan sigap membantuku mandi serta memakai pakaian rapi. Pakaian rapi disini bukan pakaian formal seperti dunia ku hidup dulu. Ini benar-benar pakaian yang merepotkan, terlebih korset sialan yang membuatku merasa mual karena diketatkan hingga satu setengah jangka jari.

Mati saja kau pembuat korset.

Mengutuk dan merutuk memang tidak baik, tapi alangkah indahnya kalau korset dan alat penyiksa pinggang dan semacamnya dilenyapkan dan dihancurkan. Aku mengambil kembali kertas amplop berisi nama-nama calon guruku.

Kuntum peony kecil berwarna oranye disudut bahu menjadi hiasan. Gaun berat yang kutaksir seberat satu setengah kilo yang kalau terkena air sudah bisa dipastikan akan membuatku tenggelam hingga kehabisan nafas, ini aku bawa menyeret lantai. Tidak peduli dengan tangisan pelayan yang menyayangkan bagian bawah gaun menghitam dan kotor.

"Pertama! Biarkan aku menikmati luang dua hariku ini tanpa korset."

"Itu mustahil nona," jawa Reze singkat, padat, dan tepat, juga menusuk. 

Ah... Masalah korset akan menjadi makanan sehari-hari.




.
.
.

.
.
.

T
B
C

.
.
.

Hikikomori: mengurung diri

Dusk Of DinastyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang