"Iya tuanku, sepertinya Nona sedikit syok karena ini kebangkitan pertama sihirnya." ucap laki-laki dengan paras yang tidak kalah tampan dengan orang yang menyebut dirinya sebagai ayahku. Keduanya tengah berbincang dibalkon kamarku, tak jauh dari tempatku tiduran sehingga aku bisa mendengar ucapan mereka dengan mudah.
"Bagaimana dengan Thifanya?"
"Nyonya saat ini masih belum sadarkan diri. Menjadi inang kekuatan tidak mudah, tuan." ucap laki-laki yang mengaku sebagai dokter keluarga ini. Rambut dan mata laki-laki itu berwarna coklat muda. Dengan bingkai petak kacamata untuk membantunya melihat dengan jelas.
'Apa itu inang kekuatan? Dan siapa itu Thifanya?' batinku bertanya-tanya.
Aku memilih kembali diam dan mendengarkan keduanya berbicara. Para pelayan termasuk perempuan yang tadi menangisiku sedang sibuk menyiapkan obat untukku yang diberikan dokter itu. Perbincangan yang terdengar cukup berat bagiku yang masih terhitung baru didunia ini.
Tubuhku didudukkan oleh seorang pelayan. Rasanya sangat menyakitkan setiap kali bergerak. Mataku melirik kedepan, sebuah cangkir dengan cairan biru didalamnya. Keningku sedikit mengernyit mencium aromanya. Aroma seperti bunga, aku tidak tahu bunga apa tapi warnanya benar-benar sangat pekat.
"Nona, tolong minum ini. Ini obat anda." ucap perempuan itu.
Aku sedikit memaksakan tubuhku untuk menggeleng. Aromanya sangat tidak meyakinkan. Aku takut minuman itu bukannya menyembuhkan lukaku malah menyakitiku.
"Ti...dak!"
Mata perempuan itu sekali lagi berlinang, "nona, saya mohon. Kalau nona tidak meminum ini, tubuh anda akan kesakitan selamanya."
Aku hanya bisa menelan ludah kasar disetiap tegukan pahit. Ini membuatku teringat sewaktu kecil dulu ibu selalu membuat minuman pahit untuk obat radang ayah.
Namaku dulu adalah Tatsu Ami, biasa dipanggil Ami. Aku terlahir dikeluarga yang serba berkecukupan. Ayah seorang wirausaha dan ibuku adalah seorang pengajar disatu sekolah dasar. Keduanya berhasil mendidik kedua kakakku dan juga aku tentunya hingga mendapatkan karir yang bagus.
Tapi sayang, aku harus pergi terlebih dahulu karena kebakaran arena pertandingan bela diri di Kanagawa. Lidah api dipermukaan kulitku bisa kurasakan ketika aku hampir sekarat kehabisan nafas. Disaat terakhir hanya satu harapanku, aku ingin melihat wajah orang tua dan kedua kakakku. Aku ingin mereka melihatku mendapatkan medali emas yang kuimpi-impikan sejak dulu. Aku ingin tertawa bahagia bersama mereka. Aku... Aku minta maaf ayah, ibu, kakak-kakakku tersayang.
Aku berharap setidaknya bisa mengucapkan kata-kata perpisahan dengan baik. Dan diantar ketempat peristirahatan dengan tubuh yang lengkap, bukannya hangus terbakar dan tertimbun reruntuhan seperti ini.
Orang-orang tadi sudah keluar dari kamarku. Meninggalkan aku sendirian dengan banyak pertanyaan bercangkol diotakku.
Sekali lagi aku menghela nafas lelah. Rasanya tengkukku begitu dingin seperti dimusim dingin saat bulan desember, tetapi tubuhku panas seperti dimusim panas.
Aku mencoba berdiri dari dudukku. Mencoba melangkah dan terus melangkah. Telapak kakiku berdenyut dan ngilu tatkala merasakan ubin lantai yang dingin. Inderaku terasa dua kali lipat lebih kuat saat ini.
Rasanya ingin menangis. Aku terus-terusan menghela nafas dan mencoba melangkahkan kaki menuju jendela balkon. Aku ingin melihat setidaknya bagaimana tempatku sekarang tinggal jika dari dalam saja sudah semewah dan sebesar ini.
Pandangan rumpun bunga merah yang aku yakini mawar tercium harum hingga ke balkon kamarku. Sepertinya tubuh yang aku rasuki ini sejenis nona muda kaya raya. Tapi aneh sekali, kenapa bisa nona muda kaya raya sepertinya bisa memiliki tubuh rentan dan sesakit ini. Paling tidak tolong masukkan jiwaku ke tubuh yang sehat dasar!
"Thifanya, ya? Nama yang cantik. Tapi sepertinya bukan namaku." bermonolog sejenak dengan tangan setia menyangga tubuh. Baju... Eng, kurasa ini gaun tidur, berkibar pelan terkena angin malam. Cukup dingin dan sedikit menusuk tulang. "Ak!" aku baru saja ingat, aku belum menanyakan namaku-- maksudku nama tubuh ini. Aku jadi bingung memanggil diriku sendiri seperti apa.
Aku kembali mencoba masuk kedalam kamar. Rasanya seperti berlari pagi ditaman selama setengah jam lebih. Sangat melelahkan dan juga menyakitkan untuk kaki kecil ini.
Argh! Aku jadi merindukan tubuh lamaku yang kemungkinan besar sudah jadi abu itu. Semoga setidaknya ada tulang yang tersisa agar bisa dimakamkan dengan layak. Sekali lagi maafkan aku ayah! Ibu! Kakak-kakakku!
Aku sedikit menggerutu, padahal tidak sampai sepuluh langkah dari balkon, sial. Mataku menatap langsung kesalah satu laci disamping tempat tidur. Sepertinya tidak masalah bukan jika aku obrak-abrik sedikit demi kesejahteraan masa depan?
Satu setengah menit lamanya yang kutemukan hanya beberapa jarum jahit beserta benang wol. Sepertinya gadis kecil ini suka membuat boneka. Aku juga menemukan sebuah buku dengan lambang bintang delapan sudut seperti kompas.
Buku berat dan besar, hampir setengah tubuh gadis kecil ini. Aku jadi kesusahan mengangkatnya keatas kasur. Bagian luarnya terlihat disampul rapi dengan beberapa pahatan huruf. Ah, aku seperti anak bayi buta huruf saat ini haah...
Iseng-iseng aku mencoba membuka buku itu. Rasa sedikit aneh, tidak ini sangat aneh! Apa ini buku pemujaan setan?! Ada gambar tanduk kambing dan lingkaran-lingkaran seperti ahli sihir dan nujum.
Oh astaga! Apa aku masuk kedalam tubuh bayi dengan keluarga penganut paham setan?!
.
.
.Aku putuskan untuk tidak memikirkan masalah buku semalam. Jujur saja itu membuatku sakit kepala memikirkannya. Aku menatap pelayan yang kini tengah menyuapiku. Percayalah, aku sangat malu saat ini. Jiwaku berusia tua makanya aku sedikit malas dan malu disuapi. Ayolah, kalian yang sudah bekerja disuapi orang tua pasti malu kan?
"Namamu siapa?"
Pertanyaanku yang mendadak itu ternyata mengejutkannya. Aku sedikit menyayangkan beberapa butir nasi yang jatuh kelantai.
"Sa-saya nona? Huh-itu nama saya Reze."
Wah, kau tidak perlu setakut itu bukan setiap kali aku angkat bicara. Memangnya aku ini monster apa? Yang bisa memakan manusia.
"Reze, sebutkan namaku." titahku. Awalnya Reze sedikit gugup dan menunduk terus.
"Nona Serena Lu Eva Arlayn." jawab Reze pelan.
Aku sampai hampir tidak bisa mendengar ucapannya. "Berapa usiaku?"
"Huh?? Itu... Anda berusia sepuluh tahun, nona."
Serena Lu Eva Arlayn, sepuluh tahun ya? Kecil sekali. "Pertanyaan terakhir!" oh? Ini seperti kuis saja. "Kenapa aku bisa jatuh sakit?"
Reze mengerjap sebentar, "itu karena ledakan mana, energi sihir anda nona."
"Ha?"
Sihir? Tunggu sebentar, dua bulan yang kulihat diawal aku membuka mata saja sudah cukup aneh, ini? Sihir? Mana? Apa-apaan dunia ini? Dunia fantasi? Yang benar saja! Ini diluar nalar!
.
.
..
.
..
.
..
.
.T
B
C
KAMU SEDANG MEMBACA
Dusk Of Dinasty
FantasiaAku Ami, bukan Serena. Kenapa aku bisa ada didalam tubuh lemah dan ringkih ini? Satu-satunya hal yang aku ingat adalah kebakaran yang terjadi waktu itu. Sewaktu aku sedang mengikuti perlombaan bela diri tingkat nasional Jepang. Aku menatap cerminan...