Duduk di atas kursi beralaskan bantal empuk yang jelas akan melindungi pinggang dari rasa sakit, tidak akan bisa Serena rasakan sebelum bereingkarnasi. Sesekali jemari bertautan antara gagang cangkir porselen yang Serena tebak harganya setara membeli sebuah kalung emas seberat 10 gram di kehidupan lamanya.
"Kalau di jual mungkin bisa lebih karena bekas bibir bangsawan," pikir Serena. Tampaknya otak uang miliknya bekerja sangat baik saat ini. Gadis bangsawan muda itu menggeleng pelan, mengingat kembali bahwa dia masuk kedalam tubuh Nona muda kaya raya yang kekayaannya cukup untuk tujuh hingga sepuluh turunan.
"Nona Muda."
Panggilan dari pelayannya membuat Serena mau tidak melirik ke ujung mata. Di sana terdapat seorang pelayan lain yang Serena tebak adalah pelayan yang bekerja langsung di bawah perintah sang Marquess.
"Ada apa?" tanya Serena. Gadis itu kembali berkutat sembari telinga mendengarkan apa yang hendak pelayan laki-laki itu sampaikan padanya.
"Tuan Marquess," ucap pelayan itu. "Ingin anda menemuinya, Nona Muda."
Serena menutup buku sihir yang dia baca sejak tadi pagi. Berdiri merapikan keliman gaun ungu dengan bordiran anggrek merah tua miliknya, gadis itu berjalan memasuki sebuah ruangan dan meletakkan buku kembali ke rak besar di samping lemari besar berisi gaun-gaun dan pakaian sehari-hari.
"Tuntun aku ke tempat Marques."
Hanya itu yang di sebutkan oleh Serena sebelum akhirnya mengekor di belakang. Beberapa pelayan dan penjaga menunduk kearahnya sesekali untuk memberi hormat karena kebangsawanan Serena.
"Lahir menjadi bangsawan itu ada enak dan ada tidak enaknya juga," bisik Serena dalam hati. Sebagai contoh paling simpel, bangsawan perempuan mulai dari anak-anak hingga nenek-nenek tidak boleh meletakkan kedua tangan di samping tubuh ketika berjalan tetapi harus dihadapkan didepan tubuh. Dan sebagai Ami, sebelum menjadi Serena dia selalu berjalan dengan kedua tangan di samping tubuh. Postur tubuh santai menjadi hal yang Serena rindukan sekarang.
Keduanya menuruni sebuah jenjang menuju bawah tanah. Disana sang Marquess berdiri dan terlihat berpikir kearah sesuatu yang bercahaya dan berpendar halus di udara. Bulu remang Serena seketika merinding, angin yang tadinya panas karena mulai memasuki musim panas, mendadak sedingin es seperti saat musim dingin.
Matanya menajam menatap batu bercahaya dengan tatapan permusuhan. Bukan dari dirinya, tapi datang dari Serena yang asli. Perasaan tidak mengenakkan mengakar dan membuat denyutan kasar di dalam kepala.
"Reaksimu..."
Tuan Marquess tersenyum tipis, menampilkan mata ungunya yang perlahan bercahaya didalam kegelapan saat itu. Puas pada apa yang diperlihatkan oleh wajah dan gestur tubuh Serena. Telapak tangan Marquess menyentuh permukaan batu. Suara desisan seperti ular derik terdengar kasar di telinga. Serena sampai menggunakan kedua tangannya untuk menutup telinga.
"Tuan Marquess," ucap Serena. "Apa yang membuat anda sampai memanggil saya ke sini?"
Tuan Marquess sejenak mengernyit, "biasanya kau memanggilku Papa, kenapa sekarang memanggilku seperti itu?"
Yang benar saja, Serena ingin tertawa sedih sekarang mengingat putri kesayangan Marques Arlayn telah lenyap tiada dan digantikan oleh jiwanya.
"Papa?" kata Serena menatap Marquess. "Bisa tolong hentikan itu? Kepalaku bisa pusing mendengarnya."
Marquess menarik tangannya menjauh dari batu yang Serena pikir adalah batu sihir. Tapi kenapa bisa ada batu sihir sebesar itu di kediaman Marquess Arlayn? Tidak ada satu baris pun didalam novel yang menjelaskan perkara batu sihir ini.
"Ini adalah pusaka keluarga kita," ujar Marquess. Marquess kemudian menatap Serena dengan senyum di wajahnya. "Dan kau harus menjaganya nanti setelah aku dan ibumu."
Barulah Serena tahu, alasan kenapa keluarga Arlayn ikut jatuh dalam hukuman bersama Serena. Jika sihir adalah legal, maka kepemilikan batu sihir adalah suatu yang ilegal di sini.
.
.
..
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dusk Of Dinasty
FantasiaAku Ami, bukan Serena. Kenapa aku bisa ada didalam tubuh lemah dan ringkih ini? Satu-satunya hal yang aku ingat adalah kebakaran yang terjadi waktu itu. Sewaktu aku sedang mengikuti perlombaan bela diri tingkat nasional Jepang. Aku menatap cerminan...