•••
Shafalina
Ibu pernah bilang, jika aku sudah menikah nanti, haruslah mencari lelaki yang tepat. Bukan hanya mencintaiku, tapi juga mencintai keluargaku. Bukan hanya sekedar menyukai kelebihanku, tetapi juga menerima kekuranganku. Itu benar, aku pun menginginkan hal yang sama.
Namun, kenapa sekarang justru lelaki itu yang duduk di sampingku? Lelaki yang mungkin enggan menatapku barang sedetik pun, walaupun kami berdua telah sama-sama terikat.
Terikat?
Ayah bilang ini adalah ikatan suci. Tapi aku ragu, ikatan ini sangat menyesakkan bagiku. Bukan lagi suci seperti yang ayah katakan. Bukankah ini lucu?
"Fa, cium tangan suamimu dulu," perintah Mama Betharia, ibu mertuaku.
Lantas, aku menurut, memalingkan wajah menatap lelaki yang beberapa menit lalu menjabat tangan ayahku dan kemudian mengucapkan kalimat sakral yang mengubah status kami. Lalu kusalami tangannya yang dingin. Ya, dingin seperti hatinya.
Lantunan doa, musik, dan canda tawa melebur jadi satu diacara pernikahan kami. Segalanya indah, megah, serta mewah persis seperti keinginan ibu mertuaku. Tapi apalah guna semua itu jika kedua sejoli yang hari ini begitu dipuja-puja justru tak merasakan kebahagiaan.
"Hari ini Mbak Shafa cantik banget. Udah kayak Sandra Dewi aja." Sandara tersenyum sembari memegang tangan kananku yang terlukis henna warna putih.
Aku tersenyum sebelum menjawabnya, "Makasih, Dara. Kamu juga cantik kok."
"Mas Kai juga ganteng, ngalahin gantengnya Jung Hae-in, lho." Adik suamiku itu tersenyum menggoda.
Namun, candaan itu terasa hambar bila ditujukan kepada seorang Kailand Nirantara. Lelaki dingin itu tidak sedikit pun menarik sudut bibirnya. Sedikit pun tidak.
"Dara, suruh Kakak kamu istirahat dulu. Nanti dilanjut lagi resepsinya." Mama Betharia menginterupsi.
Aku tersenyum canggung mendengar titah Mama. Mau tak mau, aku dan Kai harus singgah sebentar ke kamar yang sudah disiapkan sedemikian rupa.
Kamar ini benar-benar terasa seperti kamar pengantin pada umumnya. Bunga daisy di tengah ranjang, tirai putih yang mengelilingi tempat tidur kami, pencahayaan yang minim, semuanya begitu sempurna.
Andai hubungan antara aku dan Kai baik-baik saja, mungkin sekarang pipiku akan bersemu merah. Semua khayalan itu bisa terjadi hanya jika aku sedang bermimpi.
"Aku istirahat sebentar," ujar Kai. Itu kalimat pertamanya setelah melafalkan ijab kabul.
Aku senang karena dia mau bicara denganku. Ini adalah awal yang baik bagi hubungan kami. Akan tetapi, kesenangan itu lenyap seketika saat alih-alih berjalan ke ranjang, dia justru bergerak ke arah sofa. Menempatkan tubuhnya di sana dengan pakaian pengantin yang masih lengkap.
Lagi-lagi ekspetasiku terlalu tinggi. Aku seolah dipermainkan oleh kata-katanya yang menjebak. Bodoh. Ini memang salahku, bukan salahnya jika dia tak mau berdekatan denganku.
Menghela napas, aku memutuskan untuk duduk di ranjang sambil memutar-mutar cincin di jari manis. Aku sigap mengambil ponsel saat mendengar benda itu terus berdenting di nakas.
Larissa Tan : Happy wedding, Shafaaa. I'm happy for you. Can't wait for the baby (◠‿◕)
Lintang Ayu : Hai, Shafa. Sori tadi nggak sempet dateng. Anyway, happy wedding dan bahagia terus, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be A Good Family
RomanceMemang berapa lama Shafa bisa menyembunyikan Kalila dari Kailand? ••• Shafalina Malik mau tidak mau harus menjalani pernikahan dengan Kailand Nirantara. Meskipun tanpa cinta, pernikahan ini membawa hal baru bagi mereka berdua. Hingga suatu hari Kai...