10. Beyond A Doubt

33.2K 3.4K 22
                                    

•••

Kailand

Pagi ini aku terbangun cukup awal. Terbukti dari Shafa dan Kalila yang masih terlelap. Ah, rasanya menyenangkan menatap wajah polos Shafa ketika dia tertidur. Matanya yang menutup membuat bulu matanya terlihat begitu jelas. Juga dengan bibirnya yang mungil namun sangat manis ketika dikecup.

Aku perlahan mendekatkan diri pada wajah Shafa. Rasa-rasanya tidak salah kalau aku mencuri morning kissnya, bukan? Aku berusaha membuat gerakan sehalus mungkin agar objek yang kudekati dan anak kecil yang tertidur diantara kami tidak terbangun. Namun, sayang. Ketika aku sudah berjarak beberapa sentimeter dari bibir Shafa, Kalila tiba-tiba saja memukul pipiku. Membuat aku reflek menjauh.

Astaga, apa ini? Aku bahkan tidak bisa mencium istriku sendiri. Damn it! Berdehem pelan, aku lalu memandang sosok yang tadi memukul pipiku. Kalila ternyata masih terlelap. Gadis kecil itu hanya menggeliat kecil tadi, tapi berhasil mengacaukan segalanya. Tanganku terulur untuk mengacak-acak rambut tipis miliknya.

Kalau dipikir-pikir, ketika aku punya anak nanti, hal seperti ini pasti akan sering terjadi. Anak kami akan mengacaukan momen mesraku bersama Shafa. Tapi, entah kenapa aku menantikan hari itu tiba. Tindakan Kalila tadi bahkan ingin sekali aku ulang kembali. Itu menggemaskan.

"Kamu udah bangun?" tanya Shafa sambil mengucek matanya. Ternyata dia ikut terbangun juga.

Aku bergumam mengiyakan. Lalu lagi-lagi memandang bibir mungil itu. Haruskah kubilang, "Gimme a kiss, Shafa"?

Mungkin istriku itu tahu apa yang aku inginkan sekarang, karena itu dia segera beranjak ke kamar mandi dengan dalih harus bangun pagi untuk memasak sarapan. Aku berdecih, padahal sudah ada mama dan asisten rumah tangga yang siap melakukan itu.

Setelah Shafa selesai, aku bergegas menyiapkan pakaian untuk mandi juga. Hari ini weekend, semua anggota keluarga akan berkumpul karena memang tidak ada kegiatan diluar rumah.

Begitu keluar kamar, aku dapat mencium harumnya aroma telur, roti, dan nasi goreng-kalau tidak salah. Ah, Perutku jadi berbunyi. Segera aku melangkahkan kaki ke meja makan. Di sana sudah ada Shafa, mama, serta Sandara yang tengah duduk sambil menatap tajam ponselnya.

Aku menggeleng pelan. Anak zaman sekarang seolah tidak bisa lepas dari yang namanya gadget. "Bantuin Mama sana," ujarku kesal.

Sandara terperanjat kaget. "Eh, u-udah ada Mbak Shafa," ujarnya. Sebenarnya aku cukup heran dengan reaksi adikku itu. Entah sejak kapan dia berubah menjadi selalu gugup dan takut bila di dekatku, sepertinya ada yang aneh. She looks like hiding something from me.

"Kamu kenapa, sih?" tanyaku pada Sandara. Namun, sebelum dia menjawab, papa sudah lebih dulu menginterupsi kami.

"Ila mana?" Papa memindai setiap sudut ruang makan. "Belum bangun?"

"Iya, tadi masih tidur, Pa," jawabku.

"Ayo, makan!" Mama bersemangat ketika menyajikan sepiring telur mata sapi di atas meja. Shafa mengikuti dengan satu mangkuk besar nasi goreng di tangannya.

Kami semua makan dengan khidmat, masakan Shafa memang yang terbaik. Tidak heran jika dia bisa membuka sebuah kursus masak sendiri. Aku tidak menyesal saat mengizinkannya membuka kursus itu.

"Jadi, tiga bulan lagi kamu balik ke Aussie, Kai?" Papa bertanya di sela-sela makan.

"Yeah, kayaknya gitu, Pa."

"Selama di sini rencananya mau ngapain aja?"

Aku berpikir sejenak. Pulang ke Indonesia tentu saja dengan tujuan untuk menemui keluargaku-especially Shafa. Sekarang aku sudah melakukannya, dan mungkin beberapa hari kedepan akan kuhabiskan dengan berdiam diri di rumah.

Be A Good FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang