Prolog

14 1 2
                                    

"Kamu itu kok nggak ngerti sih kondisi ibu sekarang?! Sejak kecil ibu sudah ngurusin kamu susah payah biar kamu hidup layak seperti anak kecil lainnya. Kamu tahu tidak kalau ibu sering nangis doain kamu biar dapat pekerjaan yang baik, kamu malah pengen pergi ke luar negeri."

Aku hanya bisa diam tanpa sepatah kata apapun. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati.

Apa ibu juga tidak tahu kalau aku selalu nangis, itu aja aku bisa di belakang ibu.

"Kamu bisa nggak sih cari kerja dekat sini aja?! kamu jauh-jauh PERCUMA. Kamu nggak bisa mandiri, nggak bisa berhemat, bisanya numpang hidup di rumah ibu aja. Lebih baik kamu ikut kerja sama mbak Sia, sepupu kamu. Dia enak bisa kerja di rumah sakit nasional, dekat rumah juga."

Mbak Sia lagi, kebiasaan ibu selalu ngebandingin aku sama keponakan ibu.

"Ibu, aku gak mau kerja disana." Kuusahakan menjawab ibu dengan sopan dan tidak bentak.

"Kenapa nak? Kan enak, mbak Sia punya kenalan bidan disana."

"...." Aku diam tak sanggup menjawab pertanyaan ibu. Padahal aku punya alasan tidak ikut kerja dengan mbak Sia.

"Kalau nggak mau, setidaknya jangan nganggur di rumah. Bisanya tiduran, makan, main laptop terus. Ibu terus-terusan menghadapi tetangga yang selalu menanyakan kamu kapan kerja. Apa kamu gak kasihan sama ibu?? Ibu hanya bisa bilang anakku masih belum dapat ijazah. Terus ayahmu juga sama seperti ibu, ayah terus menghadapi pertanyaan dari temen ayahmu."

Aku tetap diam sampai ibu berhenti berbicara dan berharap suasana suram ini menghilang dan kembali normal.

---

Istiqomah Faakhira Ilmi, itu namaku dan biasa dipanggil Isti. Saat ini aku kelas 1 SMP Negeri. Yah, Alhamdulillah aku diterima melalui nilai UN. Selain itu, orang tuaku tidak ingin diriku masuk ke sekolah swasta karena itu membutuhkan biaya banyak. Hari pertama disekolah, aku mendapat temen baru. Sifatnya sungguh berbeda dariku, dia cukup ekstrovert dan mudah akrab dengan teman lain. Sedangkan aku, aku pendiam dan lebih senang meluangkan waktu di perpustakaan. Namun yang membuatkan senang berteman dengannya karena dia menerimaku apa adanya. Nama temanku adalah Wati.

Dia duduk sebangku denganku. Dan saat istirahat aku selalu menemaninya di kantin. Dari kejauhan, segerombolan cewek menyapa Wati. Aku merasa tidak enak, aku menarik lengan baju Wati tanda mulai rasa gugup. Wati yang cukup peka memegang tanganku seakan ia tidak keberatan.

Merasakan genggamannya, aku berusaha menghadapi mereka.

"Hai! Gimana kelasnya?" tanya Wati pada mereka.

"Baik, aku sudah bisa adaptasi sama mereka karena ada temen SD-ku dikelas."

"Wah enak banget kamu. Dikelasku aku gak bertemu temen SD tapi wali kelasku enak banget. Pokoknya baik banget."

Melihat mereka berbincang satu sama lain, aku hanya diam tapi memperhatikan mereka. Aku merasa sepertinya menyenangkan memiliki banyak teman. Melihat Wati terlihat nyaman mengobrol dengan mereka, aku beritahu Wati kalau aku pergi membeli makanan. Wati menggangguk dan melanjutkan obrolannya.

Di kantin, ada lima tempat berjualan. Namun aku menghampiri ibu yang berjualan aneka gorengan, sosis, dan minuman.

Tempat itu memiliki harga yang murah, sehingga aku bisa menyisihkan uangku untuk ditabung. Setelah membeli 4 jenis sosis dan 2 gorengan, aku kembali berjalan ke tempat duduk semula.

Kakiku terhenti saat aku melihat seorang cewek yang mendekati Wati dari kejauhan. Sepertinya cewek itu bertanya apa kursi yang aku duduki sudah di-booking orang. Aku penasaran melihat reaksi Wati.

Betapa terkejutnya diriku melihat Wati tersenyum dan mengarahkan cewek itu ke tempat duduk lain seakan dia menolaknya karena tempat itu milikku.

Aku merasa bersyukur dan kakiku mulai berjalan lagi menghampiri Wati.

"Eh, kamu datang." Wati menyambutku.

"Iya, maaf lama. Tadi antri, lumayan rame sih."

"It's OK."

"Wat, itu temen baru kamu?" tanya salah satunya.

"Eh iya, lupa aku. Ini namanya Isti dan ini temen sekelas baruku."

"Oh, salam kenal. Aku Sita, kamu dari SD mana?" cewek yang bernama Sita mengulurkan tangannya ke arahku.

Dengan sedikit malu, aku mencoba membalas uluran tangannya.

"Aku dari SD 'J'." Aku menjawab dengan gugup.

"Oh negeri ya?"

"Yah begitulah. Kalian boleh melanjutkan obrolan kalian."

"O-ok kalau gitu," jawab Sita dengan raut bingung.

Aku kembali memperhatikan obrolon mereka sambil menyantap jajan yang aku beli.

Ting...ting...

Tak terasa bel pelajaran kedua berbunyi. Mereka berhamburan keluar kantin menuju kelas mereka masing-masing.

"Maaf ya kalau aku ganggu kamu dan temenmu."

"Eh, ngapain pake minta maaf. Gak ganggu kok."

Aku mengangguk dan tersenyum tipis melihat betapa baiknya Wati.

Thanks for reading,

FI

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang