CHAPTER 5

13 1 0
                                    

Sudah dua hari Jihye tidak keluar dari kamarnya. Tidak ada yang ia lakukan selain meratapi nasib. Ibunya berkali-kali mengetuk pintu, namun tentu saja ia tidak akan membukanya. Tiap kali Ibunya memanggil, ia hanya akan mengiriminya pesan dan mengatakan kalau ia masih ingin sendiri. Beruntung masih ada persediaan makanan ringan di lemari es kecil di sudut kamarnya. Kalau tidak, mungkin saja ia akan mengendap-endap keluar kamar untuk mengambil makanan kemudian kembali meratap sambil memandang ke luar jendela.

"Bae Jihye!" Suara lain kini terdengar di luar kamarnya. Bukan suara lembut Ibunya, melainkan teriakan menyebalkan seorang Han Jisung. Tidak ada pilihan lain selain membukakan pintu kamar untuk sepupunya itu atau Jihye terpaksa harus merelakan pintu kamarnya hancur.

"Aku tidak ingin bicara denganmu jadi kedatanganmu ke sini hanya sia-sia."

"Kau baru saja melakukan apa yang tidak ingin kau lakukan." Jisung menerobos masuk dan melompat ke sofa di dekat tempat tidur Jihye, sementara gadis itu mulai mendengus pasrah. "Kudengar dua hari ini kau tidak ke sekolah. Ada masalah?"

"Kau terlalu ingin ikut campur... SUDAH KUBILANG JANGAN PERNAH MENGAMBIL MAKANAN DARI KAMARKU!" Jisung terdiam di depan lemari es mini milik Jihye yang telah terbuka. Ia melirik Jihye sebentar kemudian mengambil sebatang cokelat yang cukup besar. "Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu," keluhnya.

"Aku tahu kau akan mengatakan hal itu. Itulah kenapa aku mengambil ini." Jisung melambai-lambaikan cokelat di tangannya. "Kau tidak akan membuang-buang suaramu karena kau tidak ingin berdebat, ya kan?"

"Terserah kau saja tapi lebih baik kau keluar sekarang, sebelum kau menyesali keputusanmu sendiri telah menggangguku di hari yang indah ini."

"Hari yang indah untuk menangis," gumam Jisung. Jihye hanya meliriknya sekilas. "Padahal tanpa air mata pun kau sudah terlihat jelek."

Isakan Jihye telah kembali. Ia berusaha menahan suara tangisnya agar tidak terdengar oleh Jisung, namun percuma. Semakin ia menahannya, dadanya terasa semakin sesak. Jisung bergegas bangkit dan mendekat. Jisung bertanya apakah Jihye menangis karena ejekannya, yang justru mendapat hantaman bantal tepat di perutnya.

"Kalau begitu katakan sesuatu! Kau tidak memaksaku untuk membaca pikiranmu kan? Ayo katakan, siapa yang telah membuat adik kecilku ini menangis?"

"Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil." Lagi-lagi hantaman bantal mendarat di tubuh Jisung, kali ini tepat di lengan kanannya.

"Berhenti memukuliku!" Jihye tidak membalas. Ia hanya berusaha memalingkan wajahnya. "Aku tidak akan tahu masalahmu kalau kau tidak mengatakan apapun."

"Jungkook oppa."

"Apa?"

"Kau tahu kan kalau aku menyukainya. Dia juga sangat baik padaku."

"Jadi dia orang yang kau tangisi sekarang? Apa yang dia lakukan sampai membuatmu seperti ini?"

"Dia dengan gadis lain sekarang. Dia tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik." Jihye kembali terisak. Jisung segera mengambil tisu dan menyeka air mata gadis itu. "Bahkan gadis itu tahu kalau kami dekat. Dia tahu Jungkook oppa lah yang membuatku nyaman di sekolah itu."

"Dia tahu hal itu dan tidak berusaha menjauhi kalian? Siapa gadis itu? Apa dia di sekolah yang sama dengan kita?" Jihye mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto di akun SNS milik Jungkook. Ada potret Jungkook dan seorang gadis di sampingnya. "Lee Mina?" bisik Jisung pelan.

"Kau mengenalnya?" Jisung tidak menjawab. Tatapan matanya mendadak tidak fokus. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia merasa kalau apa yang menimpa Jihye kali ini secara tidak langsung merupakan ulahnya juga.

Jisung melirik jam di meja Jihye, kemudian mengatakan kalau ia harus pergi untuk menemui seseorang. Tentu saja hanya untuk menghindar dari sepupunya itu. Semakin lama Jisung berada di sana, mungkin akan membuat rasa bersalah semakin menghantuinya. Ia terus melangkah tanpa mempedulikan teriakan Jihye karena Jisung telah mengganggunya.

***

"Lee Mina!" Minho menerobos masuk kamar Mina sementara gadis itu menatapnya penuh tanya. "Ayo keluar." Mina hanya menggeleng. Minho terus memohon karena ia bilang ingin mencari udara segar. Alih-alih menuruti keinginan Minho, Mina hanya menunjukkan secarik kertas bertuliskan 'Jangan pernah mengajakku bicara lagi'.

Tanpa mengulang ajakannya lagi, Minho berbalik keluar setelah membanting pintu kamar Mina. Ia terus uring-uringan di sepanjang jalan. Minho tidak tahu dimana ia akan berhenti. Yang ia lakukan sekarang hanyalah mengikuti langkah kakinya. Itu lebih baik daripada harus terus berdiam diri di rumah meratapi bukunya yang tak kunjung kembali.

"Hwarin?" bisiknya begitu ia melihat seorang gadis duduk di sebuah taman dekat apartemen tempat Hwarin tinggal. Melihat jaket yang gadis itu kenakan, Minho yakin itu adalah Hwarin.

Bukannya menghampiri Hwarin, Minho justru berbalik dan menjauh. Ia mempercepat langkahnya begitu melihat sebuah tempat bertuliskan 'STAY BLOOM' di depannya. Seseorang menyapanya dengan senyum teramah yang Minho lihat hari ini. Tanpa menunggu florist itu mengajukan pertanyaan, Minho langsung memintanya merangkai buket bunga aster berwarna ungu.

Tidak perlu waktu lama karena sekarang Minho telah membawa sebuket bunga aster ungu itu sembari bergegas kembali ke taman. Langkahnya lebih ringan begitu ia melihat sosok Hwarin masih di sana. Namun baru saja ia berniat memanggil Hwarin, seseorang menghampiri gadis itu. Minho tidak yakin siapa pemuda itu karena posisinya yang membelakangi Minho. Tapi yang pasti kali ini ia yakin bahwa menemui Hwarin bukanlah keputusan yang tepat, terlebih saat Hwarin memeluk pemuda itu dengan erat.[]

GONE TO STAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang